PS. Tulisan ini mulanya untuk dipublikasikan di Pranala.com. Karena ada kendala di website awal, maka Pranala pun mengubah websitenya seperti di tautan berikut:
https://bit.ly/manusiadalammulti
Cuitan di Threads hadir pertama kali pada malam hari (5/7/23) di akun Zuck. Demikianlah bunyinya: let’s do this. Welcome to Threads (emoji api). Threads – sebagai perpanjangan tangan dari Instagram sehingga jika kita sudah memiliki akun Instagram kita tinggal mengaktifkan akun di Threads – menambah alternatif bermedia sosial kita meski bentukannya serupa dengan Twitter.
Begitu banyak alternatif bermedia sosial selain yang telah diterakan itu, sebutlah Facebook, Tiktok, Youtube, dan masih banyak lagi yang masing-masing memiliki keunggulan dan spesifikasinya. Semua media sosial, tanpa terkecuali, menjadi ruang alternatif kita untuk sejenak pergi dari rutinitas di dunia nyata. Kita menjadi memiliki banyak dimensi untuk menampilkan diri yang berpotensi menimbulkan bias terhadap realitas kita yang sesungguhnya.
Permasalahan pun muncul. Sebagai ruang untuk bermediasi terhadap audiens yang mulai kita kenal hingga tidak terbatas jangkauannya, apakah media sosial, dengan segala multi dimensinya, membebaskan kita, walau sejenak, dari realitas atau bahkan memerangkap kita untuk tak bisa jauh darinya?
Sebelum kita mengenal beraneka ragam media sosial, kita diasuh di dalam sebuah wadah, chora, istilah dari Kristeva (1980: 6) yang dipinjam dari Plato, yang menggambarkan chora sebagai tubuh yang tak terlihat dan tak berbentuk yang menerima semua hal dan dengan cara misterius mengambil bagian dari yang dapat dipahami, dan paling tidak dapat dipahami. Fase ini berisi kesenangan yang terpenuhi dan dipenuhi oleh lingkungan sosial yang mewadahi individu tersebut – tubuh maternal, Kristeva menyebutnya.
Chora tersebut merepresentasikan ruang sebelum kita mengenal dunia alternatif, yang pada konteks ini chora dibagi menjadi dua macam, yakni berdasarkan era dan usia. Disebut era jika dilihat dari zaman jauh sebelum media sosial merangsek di kehidupan kita, secara sistemik dan komunal global, sehingga satu masyarakat memiliki pengalaman yang sama atas ketiadaan media sosial. Sebaliknya, usia berkenaan dengan usia individu sebelum bisa mengakses media sosial sehingga pengalaman antar individu bisa berbeda satu sama lain.
Kedua chora tersebut tidak jauh berbeda, namun kita bisa sebut kemudian bahwa individu adalah seseorang yang bisa mengalami satu atau dua chora tersebut. Sebagai fase sebelum mengenal media sosial, kedua chora tersebut dipandang sebagai fase pembentukan tubuh atas dirinya terhadap realitas. Konstruksi tersebut dibangun individu atas bantuan lingkungan realitas (tubuh maternal) sehingga dia mendapatkan apa yang dibutuhkan, baik kesenangan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dengan kata lain, individu pasti mengalami pembentukan diri di dunia nyata. Anggapan ini menjadi benar adanya, tidak terbantahkan, karena individu masih memahami realitas asali sebagai realitas yang sesungguhnya, yang penuh dengan interaksi tatap muka, mengenal jarak, tanpa bias, sebelum terpapar media sosial. Realitas asali individu ini adalah tubuh maternal yang memeluk dan memelihara chora, jauh dari kebisingan. Tujuannya untuk membentuk tubuh atau pandangan individu hingga mendekati ideal terhadap realitas yang dialaminya. Setelah terpenuhi dan mampu untuk keluar dari realitas asali, mau tidak mau, fase chora harus ditinggalkan. Individu akan melihat realitas baru dari keberanekaragaman media sosial yang menggempurnya.
Jelas, seperti konsep Kristeva tentang chora dari tubuh maternal, akan berlanjut ke abjeksi. Namun, abjeksi di sini tidak serta-merta membenci realitas asali saat sudah dihadapkan dengan bermacam-macam media sosial. Setelah lepas dari chora, beralih menggunakan konsep hasrat Lacan, individu akan mengalami tiga hal penting (Manik, 2016: 77–78) sebagai berikut. Pertama, individu akan menyadari keterpisahannya dari tubuh maternal, atau realitas asalinya. Kedua, karena individu tidak mampu memenuhi kebutuhannya, ia harus memintanya dari realitas di luar, di media sosial, namun ia tidak sanggup mengartikulasikan permintaannya dengan tepat. Ketiga, individu akan mengalami proses identifikasi realitas baru sehingga ia membandingkan apakah realitas yang telah dibangun dari realitas asali sudah sesuai dengan realitas di media sosial. Proses terakhir tersebut, dalam perspektif Lacanian, disebut fase cermin.
Di fase tersebut (Hartono, 2007: 23) , bisa diibaratkan dengan seorang anak berdiri di depan cermin bersama seorang dewasa dan mencampuradukkan bayangannya sendiri dengan bayangan orang dewasa tersebut. Seorang anak akan menangis ketika melihat orang lain menangis atau dia memukul anak lain namun mengatakan dirinya dipukul. Lebih lanjut, Lacan (Evans, 2006: 6) mengatakan bahwa bayi melihat bayangannya di cermin sebagai suatu keutuhan yang kontras dengan tubuh aslinya. Hal ini menyebabkan bayi mengalami keterpecahan untuk mengenali dirinya sendiri, ada kekurangan dari tubuhnya.
Untuk konteks individu yang baru terpapar dan mengenali media sosial, ada proses mengenali dirinya sekaligus merasa ada yang tak lengkap dari dirinya. Atas kekurangannya tersebut, muncullah hasrat. Individu akan meniru bagaimana orang-orang dalam bertingkah laku di media sosial, terus berhasrat agar bisa memenuhi kekurangannya itu. Proses ini akan mengkonstruksi individu terhadap realitas baru di media sosial. Tentu, konstruksi diri ini sarat akan hasrat pada individu tersebut.
Konstruksi tersebut terus berproses secara simultan pada individu tanpa memiliki ujung. Hal ini karena dipengaruhi oleh apa yang dilihat disajikan di media sosial, baik itu tulisan, gambar, video, cara berbusana, tren joget, komentar, dan lain sebagainya. Baudrillard (1994: 2) menyebutnya sebagai simulakra, alegori simulasi yang paling indah sehingga membentuk lingkaran penuh atas diri kita. Simulakra ini dilihat dari adanya banyak tanda yang melingkupi diri kita, mirip dengan aslinya seolah-olah tanda tersebut diciptakan sendiri oleh mereka. Penandaan tersebut tidak selalu mendefinisikan apa yang menempel kepadanya karena bisa saja hanyalah semu atau ilusi atas apa yang mereka inginkan. Semisal, seseorang membeli iphone agar terpandang kaya, mengunggah foto buku agar terlihat suka membaca, mengunggah foto sedang plesir agar terlihat bebas dan mampu, dan contoh-contoh lain yang ada di sekitar kita. Tumpang-tindih antara yang realitas dan yang semu ini kerap merembes di dalam media sosial. Di sisi pengguna yang kita lihat, kita akan merasakan kekacauan terhadap realitas yang sebenarnya dan realitas semu, apakah yang benar-benar terlihat dan tampak di media sosial sebagai bentuk representasi penggunanya atau hanya sebagai topeng untuk menutupi dirinya. Di lain sisi, bagi para audiens atau para pengikut yang melihat kita, juga merasakan hal yang sama.
Persoalan abjeksi kembali muncul di sini. Kita sebagai individu akan merasa dibingungkan dengan apa yang hendak ditampakkan di media sosial, apakah sesuai dengan realitas asali atau yang telah disamarkan sehingga menimbulkan interpretasi terhadap audiens. Jika kita mengikuti tren, kita akan jatuh ke dalam pusaran untuk terus mengikutinya. Sebaliknya, jika kita abai terhadap tren, tidak pernah mempublikasikan apapun meskipun kita memiliki media sosial, kita berpotensi diasingkan, mendapat alienasi secara tidak langsung, seolah-olah kita tidak lagi ada dan berada di media sosial. Kedua hal tersebut bukan untuk meninjau mana yang lebih baik atau lebih buruk, namun seberapa besar simulakra yang terjalin di media sosial, sehingga berdampak pada abjeksi yang menimpa kita.
Dengan kata lain, ada dua potensi abjeksi. Abjeksi yang gagal akan menempatkan individu pada apa yang ditampilkan pada media sosial sangat berbeda dengan yang terjadi di kehidupan nyatanya. Hal ini dikarenakan dirinya merasa jijik dan benci dengan realitas asali sehingga perlu menggunakan topeng untuk mempertebal tanda atas interpretasi orang lain kepadanya. Itulah yang kini banyak terjadi. Banyak kebohongan di media sosial atas representasi dirinya sendiri, meski kita sulit melihat apakah itu semu atau benar-benar nyata, karena hanyalah pengguna yang mengerti tabir di baliknya. Sebaliknya, abjeksi yang berhasil akan menempatkan individu pada apa yang ditampilkan setidaknya mendekati realitas asali. Dia memahami bahwa dia tidak mungkin memisahkan diri dari realitas asali, namun dia harus melupakannya. Melupakan di sini bukan berarti benar-benar lepas dari realitas asali, namun ada kebutuhan lain di media sosial yang tidak bisa didapatkan hanya dari realitas asali. Sebagai contoh, media sosial mampu menjangkau orang-orang di luar kita, memberi kabar yang tak memandang jarak, serta sebagai penunjuk identitas kita sebenarnya.
Persoalan terjebak pada realitas semu atau terbebas dari realitas asali di media sosial adalah persoalan kita, seberapa bijak kita menempatkan diri dan menyematkan tanda sebagai orang yang dibaca oleh khalayak.
…
Refrensi:
- Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. (S. F. Glaser, Ed.) (english tr). Michigan: The University of Michigan.
- Evans, D. (2006). An Introductory Dictionary of Lacanian Pschoanalysis. London & New York: Routledge.
- Hartono, A. (2007). Skizoanalisis Deleuze & Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat. (A. Adlin, Ed.). Yogyakarta: Jalasutra.
- Kristeva, J. (1980). Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. (L. S.Roudiez, Ed.). New York: Columbia University Press.
- Manik, R. A. (2016). Hasrat Nano Riantiarno dalam Cermin Cinta: Kajian Psikoanalisis Lacanian. Jurnal Poetika, IV(2), 74–84.
Tinggalkan Balasan