About a Woman: Yang Sembunyi dari Ruang Liminal

PS. Tulisan ini sebatas mendapat 30 besar dari Sayembara Kritik Film Dewan Kesenian Jakarta 2025. Saya publikasikan ini agar mudah diakses oleh pembaca sekalian. Tabik.

Film About a Woman (Teddy Soeriaatmadja, 2015) tidak hanya menyoal ketubuhan perempuan, tetapi juga mengangkat permasalahan perempuan dalam meregulasi-maknai sepi lewat satu tokoh utama-perempuan, Ibu/Oma (Tutie Kirana), yang sendirian––berdua jika pembantu ikut terhitung––di dalam rumah yang besar tanpa kekurangan sedikit pun.

Sunyi-sepi di film dihadirkan sejak film dimulai dan sepanjang film dengan suara latar apa adanya yang didominasi oleh suara-suara alami––seolah tanpa intervensi––dari luar (bel sepeda, siul burung perkutut dan kenari, kokok ayam jantan, deru mobil dan bus, klonteng penjual bakso, dan sayup-sayup percakapan) dan suara-suara dari dalam rumah (detak jam, bunyi gerakan tubuh, dan gesekan atau benturan antarbenda) yang sesekali diisi suara siaran televisi. Kedua arah sumber suara itu seakan membentuk harmonisasinya sendiri untuk memperkuat sepi. Alih-alih merasa kesepian, Ibu pun sanggup mengenali kesepian yang diungkapkan kepada anaknya, Laras (Anneke Jodi) sekitar menit ke-40: Kesepian dan sepi itu beda, Laras. Terkadang kalau ibu lagi sendiri, suka lihat album foto-foto lama. Kalau Ibu lihat foto Ibu waktu masih muda, Ibu beda banget; serta yang diungkapkan kepada Abi (Rendy Ahmad) sekitar menit ke-45: Ibu sudah terbiasa. Sepi kan bergantung suasana hati. Kalau hati merasa senang, ya enggak merasa kesepian.

Gambar 1. Ibu membuka album foto

‘Sepi’ di dalam rumah tidak hanya diindentifikasi dari kedua sumber suara tersebut yang sayup-sayup terdengar, melainkan juga bagaimana kamera mengambil shot. Shot memperlihatkan detail rumah yang besar, rapi, bersih, dengan mise-en-scene yang memperhitungkan komposisi seperti dalam teknik fotografi (rasio emas, simetris, dan bingkai dalam bingkai). Montase juga disusun dengan fokus memperlihatkan kegiatan sehari-hari Ibu di rumah, dengan tempo yang lambat, dialog minim dan kering––terutama saat Elly (Pravita) masih bekerja di rumah, percakapan hanya sebatas memberi dan menerima perintah serta berpamitan––, dan kegiatan yang berulang. Rumah dan Ibu menjadi dua entitas penting dalam film ini.

Rumah tidak hanya sekadar ‘rumah’. Sebelum Elly pamit tidak lagi bisa bekerja, rumah sudah ditampilkan sebagaimana adanya: meja makan, ruang tamu, ruang tengah, dapur, kamar tidur, dan ruang treadmill yang juga ruang Ibu menata jigsaw. Jika kita lebih cermat menangkap apa yang ditampilkan ‘rumah’ tersebut, kita akan mendapati bahwa rumah adalah ruang liminal, ruang ‘antara’ yang menghubungkan dua kondisi yang berbeda. Hal ini tampak saat pembukaan film ketika Ibu membersihkan bagian atas pilar lengkung yang berada di bawah dreamcather di depan anak tangga. Dinding tangga yang kosong, tanpa hiasan, tanpa orang lalu-lalang, mengingatkan konsep ruang liminal-nya Bhabha. Begini nukilannya (Bhaba, 1994: 5): tangga sebagai ruang liminal, di antara penandaan identitas, menjadi proses interaksi simbolik, jaringan ikat yang membangun perbedaan antara atas dan bawah, hitam dan putih.

Gambar 2. Rasio emas
Gambar 3. Simetris
Gambar 4. Bingkai dalam bingkai
Gambar 5. Adegan Pembukaan

Yang jadi soal, apakah kemudian hanya sekonyong-konyong melihat tangga, kemudian kita bisa menarik hipotesis bahwa film ini mengandung ruang liminal? Justru, tidak hanya tangga, tetapi juga Ibu yang kerap ditampilkan sendirian dengan kesepian rumah. Sebelumnya telah disebut rumah adalah ruang ‘antara’ pada dua kondisi. Dua kondisi yang dimaksud adalah antara ‘home’ dan ‘house’. Ibu masih menganggap ‘rumah’ adalah ‘home’, bangunan yang tidak hanya melindunginya secara fisik, tetapi juga secara emosional tetap menyambungkannya dengan memori sewaktu muda dulu––yang ditunjukkan Ibu membuka album foto di menit ke-40 (lihat gambar 1). Bahkan, Laras sudah mengajak Ibu tinggal bersama mereka agar tidak sendirian lagi, meskipun Ibu menolaknya dengan berdalih: gapapa, terus siapa yang jagain rumah ini?, sehingga Laras tidak bisa berkutik lagi dengan tidak memberikan respons apa-apa. Dari pernyataan Ibu tersebut, Ibu menyakini bahwa rumah masihlah ‘hidup’ layaknya ‘home’ dengan suasana dulu. Sebaliknya, Laras menganggap ‘rumah’ itu adalah ‘house’, yang hanya sekadar bangunan tempat dia mengunjungi Ibu sesekali karena sudah memiliki ‘home’ bersama Bimo (Ringgo Agus Rahman) beserta dua anaknya.

Tidak hanya ‘rumah’ yang bisa beralih menjadi ‘home’, tetapi juga Ibu masih menganggap dirinya adalah ‘home’ bagi Laras. Keibuan pada Ibu begitu kokoh, seperti rumah yang ditinggalinya, sehingga dia masih saja memberi batasan etika dan moral kepada Laras. Pasalnya, Laras yang menggunakan jilbab masih saja tidak bisa berhenti merokok. Pada sekitar menit ke-18 sampai menit ke-20, Ibu bertutur demikian: tapi ibu enggak kayak kamu, sok suci di depan umum, tapi ngrokok tiga bungkus sehari. Ibu apa adanya aja// Jadi jilbabnya itu hanya sebagai pembenaran saja. Dengan pake jilbab, rokok jadi lebih halal gitu. Laras pun tidak menganggap masalah besar cercaan tersebut karena sejak dia sudah menikah, dia sudah meng-abjeksi-kan dirinya sendiri dari tubuh Ibu, yang sudah bisa lepas dari Ibu. Dengan kata lain, Ibu tidak hanya menubuh sebagaimana ‘ibu’, melainkan juga menubuh sebagaimana ‘home’, yang seharusnya dijaga-menjaga dan dilindungi-melindungi. Hal ini juga diperkuat dengan segala perabotan yang diletakkan begitu presisi yang koheren dengan tubuh Ibu yang walau telah berumur 65 tahun masih tampak sehat karena tidur dan makan terjadwal serta suka lari kecil di atas treadmill yang berada di dalam rumah, terlebih lagi Bimo memberi madu, sebagai usaha memperkuat daya imun Ibu.

Dua kali munculnya lantunan komposisi piano Gymnopédie No. 1 juga menjadi sekat semu antara transisi ‘home’ dan ‘house’, yakni pada saat merayakan ulang tahun ke-65 (di menit ke-63) serta saat film sudah mencapai akhir. Dengan berkumpulnya Bimo dan Laras beserta dua anaknya untuk merayakan ulang tahun Ibu, Ibu merasakan kehangatan ‘home’ sehingga mise-en-scene ditampilkan meriah dengan kue tar dan lilin berangka 65, close-up shot mengarah ke lima wajah sumringah yang tergambar riuhnya percakapan meskipun percakapan sengaja dibisukan untuk memberi penekanan emosional atas nuansa Gymnopédie No. 1. Sebaliknya, saat Ibu tengah merayakan pesta kecil itu, Abi di kamar hanya bisa mengelus-ngelus foto Ibu sewaktu muda dulu karena tidak bisa merasakan bersama kehangatan pesta itu. Abi menyadari bahwa dia bukanlah anggota ‘home’ Ibu, melainkan hanyalah ‘stranger’, orang asing yang sekadar membantu Ibu. Di dalam scene ini, terlihat jelas ritus transisi (Gennep, 1960: 11), terutama peralihan dari kelompok usia kedua––masa dewasa produktif yang direpresentasikan oleh Abi––ke kelompok usia ketiga––masa lansia yang masih aktif yang direpresentasikan oleh Ibu. Dalam hal ini, peralihan tidak direpresentasikan oleh satu individu, melainkan bertemunya dua individu dari kelompok yang berbeda. Dari sana, rumah sebagai tempat mereka bertemu, menjadi ruang persinggungan atas perbedaan nilai yang mereka emban.

Pergantian pembantu dari Elly menjadi Abi juga menunjukkan bahwa rumah itu menjadi ruang liminal. Terutama, ada perubahan yang mencolok sejak Abi tinggal. Kontruksi ‘home’ yang dibangun oleh Ibu pun berangsur runtuh dengan munculnya ‘gangguan’. Sebelum Abi datang, gangguan atas keteraturan yang sudah dibentuk Ibu mulai teraba sejak shot di beberapa adegan pertama, yakni saat Ibu masih ditemani Elly. Tidak hanya berhenti di awal. Teknik shot yang digunakan berlanjut hingga akhir film. Pengambilan beberapa adegan tampak bergetar-getar, bukan persoalan kamerawan tidak bisa mencapai kestabilan shot, namun seolah-olah kamerawan termasuk bagian dari distorsi film. Tampak sepele, tetapi penting. Dari sini, kestabilan status quo Ibu sebagai penjaga rumah––juga ketubuhannya sebagai perempuan–– mulai terancam. Masalah yang dihadirkan bukan karena tiba-tiba muncul komplotan perampok, tetapi seseorang yang menggantikan Elly, yakni Abi. Bimo turut memperkuat pengenalan gangguan tersebut dengan kesalahan penyebutan nama Elly dengan Yanti. Bukan sekali, tapi berulang kali. Peralihan panggilan dari ‘Ibu’ ke ‘Oma’ sejak Abi hadir ke rumah itu pun turut memperkuat bahwa gangguan akan segera datang.

Gangguan lain beruntun bermunculan. Oma yang semula tertata kehidupannya tampak cemas. Demi menjaga tubuhnya dari ancaman kemungkinan pemerkosaan Abi, Oma pun mendistorsi komposisi ruang yang semula sudah dia bangun kokoh. Sebelum tidur, Oma mengganjal pintu agar tidak bisa dibuka Abi meskipun sudah dikunci. Nyatanya, Abi mengetuk pintu hanya untuk memberikan kacamata Oma yang tertinggal di meja makan. Tindakan Abi tersebut tidak pernah dilakukan Elly sebelumnya. Dengan memindahkan ganjalan pintu agar pintu bisa terbuka, Oma sedang mempertanyakan ulang tentang konstruksi yang sedang dia bangun, khusus untuk Abi.

Gangguan lain berupa Abi membantu membersihkan pilar lengkung beserta dreamcather yang mulanya dibersihkan sendiri oleh Oma. Dari sini, rasa terancam Oma beralih menjadi rasa aman atas kehadiran Abi. Ditambah lagi, Abi sanggup menangkap tikus yang terjebak di kamar Oma. Sejak itu, Oma pun meminta Abi tidak perlu memanggilnya ‘Oma’, melainkan cukup dengan ‘Ibu’. Panggilan sama yang digunakan oleh Elly, Laras, dan Bimo, yang juga menandakan Ibu sudah nyaman dengan kehadiran Abi.

Gambar 6. Abi membersihkan atas pilar lengkung dan dreamcather
Gambar 7. Abi berganti baju bekas milik Bapak di depan Oma

Montase yang mulanya tampak sunyi dan bergerak perlahan saat masih bersama Elly, sejak kedatangan Abi, montase terasa lebih ‘hidup’ dan bergerak sedikit lebih cepat dengan berbagai gangguan yang disebutkan. Gangguan tersebut juga bisa diatasi oleh Abi. Yang paling kentara, saat masih ada Elly, Ibu tidak pernah ditunjukkan keluar rumah, hanya sebatas melihat dari jendela saat Elly sedang bertelepon dengan keluarganya di kampung. Namun, sejak kehadiran Abi, Ibu ditunjukkan keluar rumah, mengantar Abi ke kamar yang dekat dengan kolam renang. Berlanjut kemudian dengan memberikan baju dan celana panjang milik suaminya kepada Abi, seperti sedang memindahkan ingatan atas suaminya kepada Abi.

Sejak saat itu, penjagaan Ibu terhadap ketubuhannya runtuh. Segala konstruksi ‘rumah’ dan ‘perempuan’ yang sempurna menjaga diri dipatahkan oleh Abi. Meskipun tidak ditayangkan perihal ingatan terhadap suaminya, Ibu menyadari ada kekosongan dalam dirinya yang bisa diisi oleh kenyamanan dan keamanan dari Abi. Ibu sudah siap menjadi ‘home’ bagi Abi. Menyadari Abi bukanlah sebuah gangguan, alih-alih mendorong Abi saat mendekati tubuh Ibu, Ibu hanya tertegun kaget dan berlanjut Abi berpura-pura memecahkan piring untuk mencuri perhatian Ibu. Benar saja. Ibu memegang jari Abi dengan lembut, mencucinya, dan mengantarkan jari itu masuk ke mulutnya yang diikuti Abi merogoh tangan di bawah rok Ibu, tanpa berujung pada hubungan badan. Ibu pun seperti terbuka, membukakan ‘rumah’ untuk menyambut Abi, meskipun di ujung film, Ibu tidak mendapat itu dan harus merelakan Abi pergi bersama temannya, Dewi (Lika Hapsari), dengan tangisan kepergian––diiringi Gymnopédie No. 1––, meskipun barangkali Abi sekadar pergi sejenak.

Di menit ke-46, Ibu meraba-nimbang kedua lengan sembari berkaca. Ibu ingin mengenali tubuhnya sendiri sejak kedatangan Abi. Terlihat pula ada perubahan pola berpakaian Ibu yang semula mengenakan luaran menutup lengan penuh, lalu baju separuh lengan, hingga mengenakan baju tanpa lengan. Alih-alih menjerumuskan Ibu sebagai objek seksual di film About a Woman, ketubuhan perempuan pada tubuh Ibu direpresentasikan sebagai makhluk yang otonom dan kompleks. Di satu sisi, perempuan boleh bebas berpakaian apa-adanya sebagaimana yang dia inginkan. Di sisi lain, perempuan berharap menjadi ‘home’ bagi dirinya sendiri maupun orang terdekatnya. Aman dan nyaman yang seharusnya menubuh bersama tubuh perempuan. Sebagai penutup, ruang liminal yang kita telusuri ini mengantarkan kita pada satu kalimat inti, meskipun tidak bisa sekonyong-konyong disebut kesimpulan karena kompleksitasnya: perempuan adalah rumah.

About a Woman (Teddy Soeriaatmadja, 2015)

Tayang di Netflix Indonesia

Bhaba, H. K. (1994). The Location of Culture. New York: Routledge.

Gennep, V. (1960). The Rites of Passage. (M. B. Vizedom & G. L. Caffee, Ed.). Chicago: The University of Chicago Press.

Sumber Informasi

https://www.instagram.com/p/DOFmkGFkmDW/?img_index=6


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *