Hari Minggu adalah hari petunjuk bagi Budi. Setiap Budi menginjak hari Minggu, dia hampir selalu diajak ayahnya menginjak trotoar di kawasan Citraland. Salah satu rumah di kawasan itu hampir selalu ditunjuk-tunjuk oleh ayahnya jadi petunjuk masa depan Budi. Terdengar mustahil tergapai, tapi beginilah yang terngiang dan dipercayai Budi dari ayahnya: rumah itu kelak akan jadi rumahmu, Budi.
Hampir sesekali ayah Budi menekankan bahwa paling tidak rumah seperti itu yang akan dimilikinya. Meski tanpa penekanan seperti itu, Budi tidak mungkin tidak percaya. Hampir selalu ayah Budi dengan antusias dan menggebu-gebu menunjuk-nunjuk rumah berlantai dua ditambah garasi cukup untuk dua mobil itu. Tidak mungkin ayahnya hanya sekadar menunjuk dengan jari telunjuk lantas Budi mudah percaya. Mereka akan berhenti lalu memandangi dengan kagum. Tanpa ada pagar yang terpasang sehingga mereka berdua bisa melihat apa yang ada di teras itu. Temboknya putih bersih. Atap yang tinggi namun terlihat teduh. Ada bunga dan pot yang indah di kedua sisi rumah. Rumput hijau di depan rumah. Kehidupan yang tenang. Begitulah yang mereka inginkan, paling tidak bagi ayah Budi semata.
Jauh sebelum Minggu pertama mereka mulai, ayah Budi sudah mengenal kawasan Citraland, mulai dari rumah-rumahnya, hapal lekuk jalannya, satpam-satpamnya, taman-tamannya, hingga trotoar-trotoar mana yang nyaman untuk berjalan kaki. Di Minggu pertama, Karena hampir malu sedikit ragu mengendarai motor Honda butut di kawasan Citraland, ayah Budi menitipkan motor di rumah warga kampung belakang pagar pembatas Citraland. Mulanya Budi malas berjalan kaki jauh memutar demi memarkir motor butut ayahnya. Bukannya motor butut dilarang masuk, tapi ayah Budi beralasan bahwa jalan kaki lebih menyehatkan. Orang kaya hampir kebanyakan menyukai hal-hal yang menyehatkan. Tambahnya lagi, motor butut itu bising dan berasap banyak dan khawatir dilarang masuk oleh satpam di kawasan orang kaya. Budi tidak mengerti bahwa satpam mengenal baik ayah Budi. Budi pun mengangguk hampir berkali-kali dengan mulai gembira dan percaya keluarga mereka adalah orang kaya bukanlah bualan belaka.
Sebelum masuk ke Minggu kedua, ayah Budi berbelanja kaus olahraga baru lengkap dengan celana pendek dan sepatu lari. Budi amatlah senang dan gembira mendapatkan hadiah. Mulai Minggu kedua, mereka berdua akan berjalan mengelilingi hampir seluruh kawasan Citraland dengan baju dan sepatu baru. Budi suka berjalan pelan sambil mengagumi sepatu barunya dan melompat-lompat. Hampir setiap berganti bulan, mulai kaus, celana pendek, dan sepatu lari kepunyaan Budi dan ayahnya juga turut berganti. Ayahnya bilang bahwa orang kaya suka membeli barang baru rutin hampir tiap bulan agar tetap terlihat kaya. Budi mengangguk dan senang jadi anak orang kaya.
Di luar hari Minggu, Budi bersekolah, ayah bekerja dan ibu menjaga rumahnya di dalam gang sempit yang hanya cukup untuk melintas dua motor yang dituntun. Rumahnya terbilang sempit. Ada dapur kecil, kamar mandi kecil, lorong kecil, dan dua kamar kecil milik Budi dan kedua orang tuanya. Ruang tamu akan terlihat sempit saat malam hari karena motor akan dimasukkan berhimpitan dengan meja dan kursi. Jika ada tamu, motor akan dipepetkan ke tembok depan rumah asal tidak menutupi pintu. Pintu dilarang terhalang oleh apapun. Itulah sebabnya, Ibu Budi hampir tidak pernah duduk-duduk di depan pintu. Ibunya memilih mendatangi rumah tetangga untuk menyiarkan kabar penting baginya bahwa suaminya kemarin baru saja membeli kaus, celana pendek, dan sepatu lari untuk jalan-jalan di hari Minggu depan.
Sama seperti ibunya, Budi juga bercerita kepada teman-teman di sekolah bahwa dirinya telah dibelikan baju dan sepatu lari oleh ayahnya. Teman-temannya memang percaya karena terlihat ayahnya berangkat bekerja mengenakan setelan kemeja rapi, celana kain, jaket hitam bergaya, pantofel hitam mengkilap, dan ransel polo yang menggelembung. Mereka mengetahui karena Budi hampir setiap berangkat sekolah diantar ayahnya dengan motor butut.
Teman-teman kelas Budi percaya keluarga Budi adalah keluarga yang kaya-raya. Itulah sebabnya, Budi hampir selalu menahan diri untuk membeli jajan. Ibunya memilih membawakan jajan buatannya sendiri sekaligus untuk kudapan keluarga saat di rumah dan jamuan untuk tamu yang akan bertandang. Ibu Budi berpikir bahwa daripada uang dihambur-hamburkan untuk membeli jajan di sekolah, lebih baik untuk membuat jajan sendiri dan dibawakan untuk Budi. Budi pun tak bisa membantah ibunya karena Budi anak yang penurut sedangkan ayahnya suka bekerja dan ibunya suka menabung. Ibunya percaya bahwa hemat adalah pangkal kaya. Begitu juga dengan Budi, sangat percaya ibunya. Budi percaya ayah dan ibunya sedang menabung agar bisa membeli rumah di kawasan Citraland seperti yang ditunjuk-tunjuk ayahnya. Itulah mengapa motor butut itu tetap dirawat oleh ayah Budi, bukan malah membeli motor baru.
Budi hampir tidak pernah meminjam uang teman-temannya hanya sekadar untuk membeli jajan di kantin sekolah. Budi benar-benar menahan bagaimana caranya dia tidak sampai tergiur. Air liur yang menetes dia tutupi dengan botol air minumnya sendiri. Budi meminum air liurnya lagi. Begitu seterusnya tiap kali Budi tergiur dan ingin membeli jajan di kantin. Budi tidak mungkin mencicipi jajan yang telah terkena liur temannya. Ayahnya berpesan bahwa orang kaya tidak pernah mencicip makanan orang lain karena orang kaya selalu membeli makanan sendiri. Pesan tersebut dipegang Budi dengan teguh.
Namun, hari berganti hari, Budi pun tak kuasa meminum air liurnya sendiri. Budi langsung meminjam uang ke temannya yang kaya-raya. Budi yakin, temannya itu pasti mau meminjaminya. Benar adanya, temannya dengan cuma-cuma memberi Budi uang. Budi bilang, dia bukanlah pengemis yang meminta uang dan pasti mengembalikan karena ayahnya adalah orang kaya. Temannya mengiyakan dan setuju akan menganggap uang itu sebagai utang untuk Budi.
Semula, Budi malu untuk meminjam uang lagi ke teman yang sama. Namun, temannya bilang, itu urusan ayah Budi karena tugas ayah adalah mencari uang. Budi sepakat dan kembali meminjam uang. Selama dua bulan, Budi sudah tidak perlu malu-malu lagi meminjam kepada teman yang sama. Tanpa perlu menunggu dua bulan, temannya juga mulai mencatat utang Budi di buku catatan kecil. Dalam empat bulan, Budi sudah hampir sering meminjam uang kepada temannya yang kaya itu. Temannya malu untuk menagihnya karena anak orang kaya tidak mungkin menagih uang jajan yang terbilang kecil. Tapi, sedikit-sedikit uang yang kecil itu lama-lama jadi bukit. Utang Budi pun menumpuk tertera di catatan kecilnya. Dia mulai menolak memberi utang kepada Budi. Dia juga tidak mungkin bilang kepada mamanya karena pasti dimarahi.
Budi beralih ke teman yang lain. Uang yang dipinjam pun kecil. Lima ratus perak hingga dua ribu rupiah. Hampir tidak ada teman yang tidak mau merelakan uang sekecil itu. Budi tidak hanya meminjam ke satu teman, melainkan ke empat temannya sekaligus. Dari uang yang terkumpul, Budi bisa dapat uang banyak sekaligus. Budi bisa membeli jajan yang banyak sekaligus di hari itu. Budi meminjam uang ke hampir semua temannya berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Budi percaya ayahnya pasti bisa melunasi utang-utangnya.
Di bulan kelima, ayah Budi kebingungan untuk membeli baju dan sepatu baru untuk jalan-jalan di kawasan Citraland. Ayah dan ibunya mengerti bahwa semua baju dan sepatu yang telah dibelinya dulu menumpuk di rumah. Mereka tidak mau menjualnya karena orang kaya tidak mungkin menjual barang-barang miliknya sendiri. Mereka pun menaruh baju dan sepatu lama di kolong ranjang. Agar bisa membeli baju dan sepatu baru, ayah Budi pulang hampir larut. Dia bilang kepada Budi bahwa dia sedang banyak kerjaan di kantor dan mengharuskannya mengambil lembur. Budi mengangguk memaklumi karena orang kaya pasti giat bekerja. Dalam tidurnya, Budi bermimpi mengenakan baju dan sepatu baru untuk berjalan-jalan di kawasan Citraland yang mungkin saja terjadi di bulan keenam.
Ayah Budi menganggap warung kopi adalah kantornya untuk lembur dan permainan judi adalah kerja lemburnya. Sepatu pantofel, kemeja rapi, dan celana kain, dia masukkan ke dalam tas polo yang mulai mengelupas yang sudah digunakan bertahun-tahun. Ayah Budi berniat membeli tas baru nantinya jika menang. Kaus kumal dan celana pendek ia kenakan seperti yang teman-teman kerjanya kenakan. Teman-temannya selalu mengenakan kaus dan celana pendek yang sama dari berangkat kerja hingga pulang. Tidak seperti ayah Budi yang harus berganti baju terlebih dahulu sebelum tiba di tempat kerja dan mengenakan kemeja lagi saat pulang kerja. Itulah sebabnya, ayah Budi hampir sering dikata-katai teman-temannya bahwa dia selalu berlagak seperti orang kaya. Ayah Budi memang tebal telinganya seperti halnya orang kaya yang dia kenal. Dia percaya orang kaya tidak mudah terkena kata-kata yang menjatuhkan. Ayah Budi memang bermental orang kaya.
Berhari-hari ayah Budi pulang larut dari biasanya. Sejak mengambil lembur di warung kopi, ayah Budi hampir sering mengisi uang untuk bermain demi bisa bermain lagi. Semakin hari, ayah Budi hampir sering mendapati kekalahan dan hampir jarang menemui kemenangannya sendiri. Dia pun meminjam kepada rentenir yang hampir sering menawarkan pinjaman ke orang-orang di sana, tak terkecuali ayah Budi. Dia berjanji utang itu akan dikembalikan beserta bunganya sebelum satu tahun dengan cicilan tiap bulan. Uang yang dipinjam pun terbilang banyak sekali, melebihi utang Budi dari teman-temannya ditambah gaji berbulan-bulannya. Ayah Budi yakin uang itu bakal beranak-pinak atas kemenangannya yang hampir mustahil tergapai.
Pada bulan keenam, melebihi apa yang diimpikan Budi, ayahnya membelikan sepatu roda baru. Ayahnya bilang, Budi belum memiliki sepatu roda. Budi senang sekali dan ingin mencoba sepatu roda itu di hampir sepanjang jalan di kawasan Citraland. Minggu selanjutnya, Budi dan ayahnya berjalan-jalan untuk mencoba sepatu roda baru. Budi sesekali terjatuh, lalu bangkit lagi. Budi di depan dan ayahnya di belakang menyertainya. Lama-kelamaan, Budi bisa meluncur jauh dan cepat sehingga ayahnya kehilangan pandangan dari anaknya semata. Ayahnya khawatir Budi melihat teman-teman kerjanya yang sedang membangun rumah di daerah sana. Semua kuli mengenal ayah Budi. Sebagian kuli hampir melihat Budi. Budi beruntung karena dia melesat dengan sangat cepat.
Hampir seluruh gaji ayah Budi habis untuk membayar cicilan utang di bulan itu. Utangnya masih banyak dan hampir mustahil bisa terlunasi segera. Uang ayah Budi hampir habis di permainan judi. Itulah sebabnya, ayah Budi berpamitan untuk bekerja keluar kota. Berbulan-bulan tidak ada cicilan yang dibayar. Rentenir mulai khawatir uangnya dibawa lari. Dia pun bertamu ke rumah Budi untuk menagih atau setidaknya mengambil barang-barang rumah yang bisa dijual. Rumah Budi tidak lagi sempit karena barang-barangnya sudah keluar meninggalkan rumah. Rentenir itu mendengus karena barang-barang itu belum bisa melunasi utang beserta bunganya. Kunjungan berikutnya, dia berencana mengambil rumah Budi yang sudah lapang.
Beberapa hari kemudian, hampir seluruh mama teman Budi beserta anaknya bertamu juga ke rumah Budi. Mendapati keramaian yang tak terduga, ibu Budi tak sempat menyajikan jajan yang dibuatnya sendiri. Dia juga seketika menjadi gagap melihat Budi bermain sepatu roda begitu lancar melewati gang-gang sempit di kawasan rumahnya. Budi ingin mengikuti jejak ayahnya. Budi ingin mengejar masa depannya. Hampir seluruh teman-temannya jauh tertinggal di belakangnya.
Mojokerto, Juli 2022
cerpen ini meraih juara favorit pada Festival Cipta Cerpen Nasional (Agustus) yang diadakan oleh Fun Bahasa.
Tinggalkan Balasan