Badu dan Budi adalah sahabat sejati sejak lahir. Mereka bersahabat sejak lahir karena kedua orang tua mereka adalah tetangga dekat. Rumah Badu sebelah barat dan rumah Budi sebelah timur, hanya dipisahkan jalan setapak. Karena kedekatan kedua orang tua yang sudah bertahun-tahun tersebut, mereka memilih kamar bersalin yang saling bersebelahan, seperti rumah mereka.
Badu lahir sepuluh menit mendahului Budi dengan hari yang berbeda. Badu lahir di hari Sabtu dan Budi di hari Minggu. Malam yang sudah larut itu, mereka berdua saling bersahutan untuk menangis. Mulanya Badu mengawali menangis, lalu disusul oleh Budi. Semakin Badu menangis kencang, Budi pun turut menangis kencang. Kedua sanak keluarga itu pun bisa saling mendengar isak tangis itu dari luar kamar. Meski begitu, kedua orang tua mereka sangat bahagia karena pertanda Badu dan Budi akan menjadi sahabat sejati karena saling menjawab isak tangis.
Meski mereka bersahabat dan lahir hampir bersamaan, mereka memanggil orang tua dengan panggilan yang berbeda. Badu memanggil orang tuanya dengan Papa Mama dan Budi memanggil orang tuanya dengan Ayah Ibu. Mereka tidak pernah mempermasalahkan panggilan itu karena bagi mereka, pasir masih tetap mengenal mereka. Tiap kali Badu bermain pasir, Budi ada di sana di depan rumah mereka, tepat di depan jalan setapak. Orang yang melintas pun mengalah dengan sedikit mengambil jalan berbelok. Sungguh elok dan cantik istana pasir yang dibuat oleh Badu. Melihatnya, orang-orang besar akan rela menghindar, bahkan ada yang tersandung melihat kemegahan istana pasir yang dibuat Badu. Budi pun belajar kepada Badu agar bisa membuat istana sebagus itu. Setelah mereka bisa membuat istana itu, mereka saling memuji, bahkan berebutan istana siapa yang paling bagus, tanpa merusak istana sahabatnya. Sungguh indah persahabatan mereka.
Kedua orang tua mereka sengaja saling patungan agar bisa membeli pasir untuk Badu dan Budi bermain. Semula, Papa Badu ingin membeli sendiri lalu diletakkan di depan rumahnya. Namun, Ayah Budi ingin Budi ikut senang karena bisa bermain dengan pasir hasil pembelian ayahnya. Mereka berdua saling berebutan untuk siapa yang membeli pasir dan diletakkan di depan rumah siapa. Karena mereka berdebat di jalan setapak itu dan bertepatan salah seorang tetangga melintas, dia pun memberi saran bahwa lebih baik mereka saling patungan sama rata untuk membeli pasir. Papa Badu dan Ayah Budi setuju dan mereka sepakat juga bahwa pasir itu nantinya diletakkan di jalan setapak itu. Salah seorang tetangga itu tidak terlihat melintas lagi untuk besok dan seterusnya.
Suatu hari, sebelum memegang pasir, Badu memegang dua donat cokelat. Sebagaimana sahabat, satu donat itu dia berikan kepada Budi. Budi teramat senang dan sebelum melahapnya, Budi masuk ke dalam rumah, menunjukkan donat yang lezat pemberian Badu itu kepada ibunya. Ibunya teramat kaget karena Ibu Budi belumlah mahir membuat donat. Namun, dia tidak ingin menunjukkan kelemahan itu di depan Budi dan menyuruh Budi untuk melahap donat itu bersama-sama Badu sebelum membangun istana lagi. Budi mengangguk lalu menghampiri Badu yang menunggu Budi untuk melahap donat.
Sebagaimana sahabat, mereka harus makan bersama, tidak hanya saat memakan donat. Mama Badu bahkan sempat marah karena Badu tidak mau sarapan jika Budi tidak ada di sampingnya. Ibu Budi juga malu jika Budi terus-menerus meminta sarapan bersama Badu. Budi sering menyantap tahu, tempe, dan telur. Berbeda dengan Budi, Badu sering menyantap sarden, daging ayam, dan sapi. Karena perbedaan makanan tersebut, mereka kerap berbagi. Semula hanya meletakkan di piring sahabatnya, namun mereka ingin mencoba saling menyuapi. Budi langsung membuka mulutnya lebar-lebar ingin mengunyah rawon daging sapi dari suapan Badu dan bergantian, Badu membuka mulutnya ingin mencoba tahu goreng buatan Ibu Budi.
Mereka berdua senang sekali bisa saling menyuapi sahabatnya, namun mereka berhenti karena Mama Badu memergoki Badu menyuapi Budi. Mama Badu melapor kepada Ibu Budi. Ibu Budi menangis dan segera mengusap air matanya lalu menasihati Budi agar tidak menyuapi Badu lagi. Budi pun bertanya, mengapa tidak boleh saling suap padahal mereka sahabat. Ibu Budi bilang bahwa mereka sudah besar dan tidak seharusnya saling suap. Budi menurut. Begitu juga Badu, menurut apa kata nasihat Mamanya.
Sejak kejadian saling suap itu, mereka berhenti bermain pasir di depan rumah. Ayah Budi membelikan tablet bekas untuk Budi menonton Youtube. Ayah Budi mengikuti saran dari Papa Badu bahwa agar anak tidak nakal lebih baik menonton Youtube anak-anak. Papa Badu juga menunjukkan hasil belanja Ipad baru untuk Badu. Di dalam rumah masing-masing, Badu dan Budi bisa menonton Youtube kesukaan mereka.
Meski mereka sudah memiliki tablet, mereka masih bisa bermain di sekolah. Mereka disekolahkan di SD yang sama. Mereka selalu berangkat bersama dengan berjalan kaki karena sekolah mereka letaknya hanya berjarak lima menit. Di saat mereka bersekolah, Ibu Budi mencari resep membuat donat di Youtube. Dia ingin belajar membuat donat agar Budi senang dan bisa berbagi kepada Badu. Setelah uji coba gagal dua kali selama dua hari, Ibu Budi berhasil membuat donat cokelat yang lezat. Sepulang sekolah, Ibu Budi langsung memberikan dua donat kepada Budi dan menyuruhnya memberikan donat yang lezat itu kepada Badu. Badu teramat senang dan melahap donat bersama Budi. Karena cokelatnya leleh di donat, pipi mereka jadi belepotan. Mereka saling tertawa karena wajah mereka tampak lucu.
Karena mereka bersahabat dan sudah cukup usia untuk dikhitan, mereka pun dikhitan bersama-sama di dokter khitan. Kedua orang tua mereka pun merencanakan syukuran khitan. Setelah berunding, mereka bersepakat bahwa syukuran khitan akan diadakan bersama-sama untuk menekan biaya. Begitulah sahabat, tidak bisa dipisahkan. Setelah sembuh dari khitan, mereka sembunyi-sembunyi untuk melihat hasil khitan di kamar mandi sekolah. Mereka tertawa bersama karena terlihat lucu seperti jempol bermulut.
Namun, selepas lulus SD, mereka terpaksa berbeda sekolah. Badu diterima di sekolah swasta terbaik dan Budi diterima di sekolah negeri terbaik. Meski begitu, mereka masih tetap belajar bersama dengan mengambil kelas bimbel bersama. Di saat penerimaan rapor, mereka saling memperlihatkan nilai kepada sahabatnya. Budi pandai dalam Matematika; Badu cekatan dalam Olahraga. Meski mereka adalah sahabat, nilai mereka tidak pernah sama. Saat Budi mendapat nilai sembilan di pelajaran Matematika, tidak dengan Badu. Saat Badu mendapat nilai sembilan di pelajaran Olahraga, tidak dengan Budi. Begitu juga dengan nilai-nilai yang lain, mereka tidak pernah mendapat nilai yang sama. Mereka tidak pernah mempermasalahkan perbedaan itu dan mereka tetap menjadi sahabat.
Meski begitu, kedua orang tua mereka sangat mempermasalahkan itu. Mereka saling berlomba dan berbalas agar anaknya mendapat nilai terbaik. Ibu Budi tetap memberi semangat kepada Budi agar bisa masuk ke SMA favorit, sedangkan Mama Badu terus meminta Badu agar giat belajar seperti Budi dan mendapat nilai yang bagus di pelajaran menghitung. Badu mengangguk dan bertekad akan giat belajar namun dia tetap tidak bisa menyamai kemampuan berhitung Budi.
Karena sering belajar dengan membaca buku dan menatap laptop, Budi memakai kacamata. Badu disuruh Mamanya untuk memakai kacamata juga, namun kacamata sangat mengganggunya saat bermain basket. Mata Badu masih normal karena Badu jarang sekali belajar dengan giat. Badu lebih suka bermain basket. Tangan dan kakinya kekar. Badu tumbuh menjadi anak yang tinggi dan tampan. Budi tumbuh menjadi anak yang pandai dan pendiam. Mereka tetap sahabat meskipun mereka jarang bertemu karena mereka diterima di SMA yang berbeda dan saling berjauhan di kota yang sama.
Di sekolahnya, Budi sering mendapat piala kejuaraan sains, sedangkan Badu sering mendapat piala pertandingan basket. Kedua orang tua mereka saling bercerita kepada tetangga yang lain bahwa kedua anak mereka berprestasi. Piala-piala itu terpajang rapi di ruang tamu sehingga orang yang melintas akan bisa melihat piala itu dengan jelas. Suatu waktu, Badu tidak ada pertandingan dan sehari-harinya di luar kegiatan sekolah hanya berlatih basket, sedangkan Budi tetap saja mendapat piala baru dari sekolahnya.
Papa Badu ingin membelikan piala yang dicetaknya sendiri buat Badu. Badu menolaknya karena buat apa mendapat piala tanpa pertandingan. Maka, Papa Badu dengan kekayaan yang dimilikinya akan membuatkan pertandingan basket dan pemenangnya haruslah tim Badu. Badu, sekali lagi, menolaknya dengan alasan dia ingin menang atas pertandingan yang tidak dibuat-buat. Papa Badu tidak berhenti. Maka, dia diam-diam membelikan Badu motor Ninja untuk Badu. Badu tidak bisa menolak karena motor sudah ada di depan rumah dengan suara yang menggelegar.
Ayah Budi teramat kaget dengan motor Ninja milik Badu. Serta-merta, dengan hasil menyekolahkan SK pegawai negeri miliknya, Ayah Budi membelikan motor PCX agar Budi tampak gagah dan giat dalam belajar. Budi mengangguk dan teramat senang dengan pemberian tersebut. Setiap mereka berangkat sekolah, suara motor mereka berderu, saling bersahutan di depan rumah, seperti isak tangis pertama mereka.
Badu dan Budi melanjutkan kuliah di luar kota yang berbeda. Badu di Bandung dan Budi di Jakarta. Meski begitu, mereka kerap bertemu untuk bercerita kabar di kota perantauan, suka duka di perkuliahan, serta tak ketinggalan mengenang masa kecil saling berbalas budi tersebut.
Pada suatu malam, mereka tertawa kencang sekali ketika mengingat kedua orang tua mereka saling berdebat merayakan ulang tahun di tanggal berapa untuk kedua anaknya dan berujung tanpa didapatkan kesepakatan. Meski ulang tahun diadakan di tanggal sesuai kelahiran masing-masing, mereka tetap mengundang orang yang sama karena berada di SD yang sama. Mereka juga tertawa bahwa mereka pernah dimarahi karena pernah saling suap sarapan. Jempol bermulut mereka juga turut tersenyum lebar mendengar mereka tertawa.
Kini, mereka tidak perlu takut kena marah. Budi bisa menyuapi Badu dan Badu membalas menyuapi Budi tepat di tengah malam mereka merayakan ulang tahun bersama-sama. Sebagai sahabat, mereka tidak perlu lagi berkamar bersebelahan karena mereka kini bisa dalam satu kamar yang sama.
Yogyakarta, Agustus 2022
cerpen ini meraih juara favorit pada Festival Cipta Cerpen Nasional (Januari) yang diadakan oleh Fun Bahasa.
Tinggalkan Balasan