Kesiapan Pemuda dalam Mengawal Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional

(Tulisan ini pernah saya presentasikan selaku narasumber mewakili pemuda pada pertemuan Rakoorda PPCBI (Rapat Koordinasi Pemuda Penggerak Cinta Bahasa Indonesia) Se-Jawa Timur dengan tema “Peran Pemuda dalam Pemartabatan Bahasa Indonesia” di Hotel Utami, Sidoarjo, tanggal 6–8 Mei 2014)

I

Pemuda selalu identik dengan perubahan di sebuah negara. Perubahan yang lebih baik di masa depan dibebankan kepada pemuda. Itulah kenapa pemuda bisa disebut agen perubahan. Namun, terkadang pemuda masih dipandang sebelah mata dikarenakan seringnya berubah pikiran dalam hal prinsip hidup.

Dalam buku Dilarang Gondrong!, kata “pemuda” sering disatuartikan dengan remaja yang mulai dewasa dan sudah sampai umur untuk kawin. Padahal di sini “pemuda” dan “remaja” mempunyai konotasi berbeda dalam sejarah Indonesia. Istilah pemuda biasanya berkonotasi politik, sedangkan remaja lebih pada pilihan gaya hidup.

Selain pemuda sering dikonotasikan dengan kegiatan politik, juga diidentikkan dengan pergolakan pada zaman revolusi. Campur tangan pemuda dalam kehidupan politik mempunyai peranan penting. Oleh sebab itu, bisa dikatakan pemuda merupakan identitas generasi sebagai ideologi politik. Ben Anderson (Wiratma, 2010:15) menegaskan bahwa pemudalah yang memainkan peran sentral dalam revolusi Indonesia, bukan intelegensia atau kelompok-kelompok kelas yang teralienasi dalam kancah perpolitikan pada waktu itu. Bahkan, proklamasi kemerdekaan takkan terjadi tanpa adanya peranan pemuda yang menculik dan mendesak Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan.

Lebih luas lagi, William H. Frederick (Wiratma, 2010:25) mengatakan bahwa istilah pemuda serta gagasan mengenai generasi muda sebagai kekuatan politik dapat dirunut dari sejarah Indonesia yang panjang. Sejak awal abad ke-20, bisa dilihat semangat pemuda dengan mendirikan perkumpulan Budi Utomo. Inspirasi pendiriannya datang dari Dokter Wahidin Sudirohusodo dari Yogyakarta, yang kemudian didirikan oleh mahasiwa-mahasiswa Stovia (sekolah untuk mendidik dokter-dokter pribumi) di Jakarta, antara lain: Sutomo, Gunawan, Suraji, dan sebagai, pada tanggal 20 Mei 1908. Van Deventer (Moedjanto, 1988:27) berkomentar :”India — kata India di sini berarti Indonesia — , negeri cantik jelita yang lama ini tidur nyenyak, kini telah bangkit”.

Munculnya Budi Utomo membuat pemuda di daerah tergerak hatinya. Mereka mendirikan mulanya perkumpulan-perkumpulan pemuda lokal. Jong Java bisa dikatakan anak dari Budi Utomo. Semula bernama Tri Koro Darmo dan didirikan pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan pemuda-pemuda menjadi pemimpin bangsa di kemudian hari. Pemuda-pemuda lain daerah tidak mau ketinggalan. Pada tanggal 7 Desember 1917 berdirilah Jong Sumatranen Bond. Pada tahun 1918, berdiri pula Jong Minahasa, lalu Jong Ambon dan Jong Celebes (Sulawesi), Jong Borneo (Kalimantan).

Selanjutnya perkumpulan-perkumpulan pemuda dari berbagai daerah telah bertekad untuk mempersatukan diri. Pada 30 April-20 Mei 1926 di Jakarta diadakan kongres pemuda-pemuda Indonesia yang pertama. Dalam kongres, para utusan setuju untuk mengembangkan persatuan pemuda-pemuda Indonesia sebagai suatu bangsa dan bahwa rasa persatuan itu harus mengatasi kepentingan golongan, bahasa maupun agama. Jadi, tema kongres itu adalah Indonesia Bersatu. Kongres kedua diadakan pada 26 sampai 28 Oktober 1928 di Jakarta. Mereka mempertegas rasa persatuan kebangsaan mereka dengan mengucapkan sumpah pada tanggal 28 Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda. Pada hari itu para utusan pemuda mengucapkan sumpah yang berbunyi sebagai berikut:

Pertama : Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah yang satu, tanah Indoesia.

Kedua : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.

Karena pertimbangan politik, maka rumusan Sumpah Pemuda tersebut mengalami perubahan urutan ayat, yang intinya satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Jadi bunyinya tetap sama. (Moedjanto, 1988:57)

Frederick (Wiratma, 2010:15) mendefinisikan pemuda waktu itu adalah mereka yang berusia tidak lebih dari 21 atau 22 tahun, berpendidikan modern, berasal dari keluarga kaya, dan kebanyakan berasal dari wilayah perkotaan, serta memliki kesadaran politik.

Berbeda halnya dengan James Siegel. Siegel (Wiratma, 2010:11) berpendapat pemuda dibagi menjadi dua jenis, yaitu mereka yang bersikap apatis atau apolitis. Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kesamaan berupa selera, aspirasi, dan gaya hidup yang ingin selalu berubah yang mengacu pada perkembangan yang terjadi di luar negeri, teurtama Barat. Jenis yang lain adalah mereka yang memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan persoalan bangsanya. Raillon (Wiratma, 2010:11) mengatakan mereka juga memiliki idealisme yang seringkali bertentangan dengan kenyataan yang tengah terjadi di dalam masyarakat. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok mahasiswa.

II

Dalam membawa bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebenarnya cukup berat. Seperti halnya yang dikatakan Budi Darma dalam bukunya Bahasa, Sastra dan Budi Darma, (2007:13) bahwa bahasa Indonesia dalam percaturan internasional, paling-paling menjadi bahasa regional, yaitu bahasa sebagian kawasan ASEAN. Untuk menembus percaturan internasional, bahasa Indonesia ngos-ngosan. Maka, terjemahan ke dalam bahasa asing pun, khususnya bahasa Inggris, menjadi tidak terhindarkan.

Bisa dikatakan bahasa Indonesia adalah bahasa terbuka yang memiliki hubungan sanak saudara dengan bahasa lain. Ini disebabkan faktor politis dan geografis dimana Indonesia dari dulu hingga sekarang menjadi perlintasan suku, sukubangsa, bangsa, ras, yang silih berganti datang. Jadi, bahasa Indonesia bukanlah bahasa asli. Melainkan bahasa yang menyerap dari bahasa dari bangsa yang berdatangan.

Melanjutkan hubungan sanak saudara dengan bahasa asing, Alif Danya Munsyi (2005:68–69) membagi-baginya secara lazim seperti halnya kedudukan anak-anak di dalam keluarga.

1. Anak kandung: adalah asal bahasa Indonesia, yaitu Melayu lingua franca, yang secara administratif digunakan oleh penjajah Belanda semasa pemerintahan kolonialnya.

2. Anak kemenakan: adalah bahasa-bahasa daerah, dari Aceh sampai Papua, yang masuk ke dalam bahasa Indonesia untuk melengkapi khazanah peristilahan, kosakata, atau vokabuler.

3. Anak tetangga: adalah bahasa-bahasa Asia, khususnya Arab, Sansekerta, Cina, yang juga masuk ke dalam bahasa Indonesia untuk melengkapinya.

4. Anak asuh: adalah bahasa-bahasa Eropa, khususnya Inggris, Belanda, Prancis, yang harus diakui berhubungan dengan kebudayaan modern.

5. Anak emas: adalah khususnya bahasa Latin, yang diserap ke dalam bahsa Indonesia tanpa harus menyesuaikan dengan lafal kebiasaan bahasa tutur Melayu. Jadi, mengeja status quo, misalnya, tetap sebagaimana adanya.

6. Anak tiri: adalah kata-kata khusus bahasa prokem, yang sekarang mungkin disepelekan oleh bahasa resmi, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan menjadi vokabuler yang resmi pada masa-masa mendatang.

Selain pengaruh dari bahasa asing, bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh bahasa daerah. Bangsa Indonesia pada umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai kedua setelah bahasa daerah. Hal tersebut berperan sangat besar dalam penguasaan bahasa setiap penutur masing-masing daerah. Imbasnya, bahasa Indonesia memiliki banyak dialek sesuai dengan daerah penutur.

Jadi, bisa dikatakan ada dua kemungkinan besar yang terjadi terhadap bahasa Indonesia ke depan:

1. Bahasa Indonesia menjadi kuat dan kaya.

Hal ini disebabkan aktifnya bahasa Indonesia menyerap bahasa lain lalu menyesuaikan dengan pelafalan bangsa Indonesia. Semisal untuk bahasa Belanda (proklamasi = proclamatie, nama = naam), Sansekerta (merdeka = maharddika, bangsa = vamsa), Sunda (kuasa = kawasa), Jawa (nyata = nyoto), Spanyol (zapato = sepatu), Perancis (pantalon = pantalon), Inggris (singlet = singlet), Persia (bazu = baju), Arab (Kuffiyatun = kopiah). Untuk lengkapnya bisa dilihat di buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing karya Alif Danya Munsyi.

2. Bahasa Indonesia menjadi hancur.

Hal ini disebabkan lalainya bangsa Indonesia berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Malah mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Semisal, ketika masuk biro perjalanan atau pertunjukkan, kita pasti ditanyai,”Apakah sudah booking?” atau “Anda mau booking?” Secara gramatikal bahasa Indonesia maupun Inggris, jelas-jelas keliru. Kata sudah mengisyaratkan ada proses yang telah berlalu; kata mau menunjuk ke masa depan. Sedangkan untuk booking adalah kata kerja aktif untuk masa sekarang. Seharusnya si penanya mengatakan,”Apakah sudah booked?” atau “Anda mau book sekarang.”

III

Apa yang harus dilakukan pemuda untuk mengawal bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional?

Sikap rasa percaya diri dan peduli terhadap bahasa sendiri. Dengan bangga kita menggunakan bahasa Indonesia di semua acara formal maupun ketika berbicara dengan lawan bicara di pergaulan, di instansi, ataupun di tempat umum. Namun, yang terjadi, kita malah malu dan lebih percaya diri ketika memakai kata-kata asing yang padahal banyak sekali padanan katanya dalam bahasa Indonesia.

Yang terjadi, bahkan, para pejabat tidak menunjukkan rasa bangga berbahasa Indonesia. Bisa disimak dari hasil wawancara berikut.

1. Wawancara Forum, 25 Maret 2001, dengan Matori Djalil. Katanya,” DPR atau MPR kan hanya speaker, apalagi zaman sekarang kan powerful.

2. Wawancara Gatra, 24 Maret 2001, dengan Amien Rais. Katanya,”Pertemuan tersebut menghasilkan unspoken conclusion.

3. Wawancara Metro TV, pukul 12.45, 6 Juli 2001, dengan Kepala BPPN, I Putu Gde Ari Suta. Katanya,”Itu masalah in and out, soal cash flow… and then ini, siapa yang mengerjakan.”

4. Wawancara Metro TV, pukul 12.55, 6 Juli 2001, dengan Dirut BEJ, Mas Achmad Daniri. Katanya, “Ya, as much as we can (menangani emiten bermasalah).”

5. Wawancara Gamma, 14 Maret 2001, dengan Marzuki Darusman. Katanya,”Jangan sampai dinilai sebagai bargaining.

Berikutnya, penanaman sikap suka membaca. Dengan membaca yang berkonten bahasa Indonesia, setidaknya bisa meningkatkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia. Namun, yang terjadi malah miris. Berikut ini hasil data survei dari BPS.

Bisa dikatakan, penduduk berumur 10 tahun ke atas lebih suka menonton televisi daripada membaca surat kabar/majalah. Dapat disimpulkan, dari televisi, penduduk berumur 10 ke atas mendapat asupan malu untuk menggunakan bahasa Indonesia. Lihat saja, begitu banyak acara di pertelevisian Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris.

Di dunia pendidikan, tidak adanya kewajiban membaca, terutama karya sastra. Kewajiban membaca karya sastra bukan untuk menjadikan siswa sebagai sastrawan. Sastra hanya sebagai medium untuk mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Juga untuk menanamkan rasa ketagihan membaca buku.

Di SD hingga SMA, kita diberi tahu tentang awalan, sisipan, dan akhiran. Sastra diajarkan dalam definisi-definisi, seperti ilmu fisika, dalam rumus-rumus, mirip ilmu kimia. Diperparah lagi, dengan adanya penghargaan sastra Indonesia. Bukan mengenai penghargaannya. Itu sah-sah saja. Penghargaan terhadap suatu pencapaian itu bermartabat. Hanya lewat sastra, bahasa Indonesia dapat menjadi berharkat dan mampu mengejawantahkan dorongan-dorongan keindahan. Namanya, Khatulistiwa Literary Award. Jelas-jelas itu berbahasa Inggris. Itu sebabnya kita tidak bangga menggunakan bahasa kita sendiri, Indonesia.

Jika penanaman rasa ketagihan membaca sudah tercapai, berikutnya adalah pengajaran bahasa Indonesia agar lebih mudah dan menyenangkan. Pasalnya, kesulitan orang asing dalam mempelajari bahasa Indonesia adalah saat mempelajari sistem imbuhan yang rumit. Hal ini menimbulkan kesulitan mencari kata dasar dan memakai pengimbuhan.

Bahasa Indonesia memiliki kesederhanaan sistem bunyi dan gramatikal sehingga mudah dipelajari. Selain itu, secara teoritis bahwa bahasa Indonesia memiliki sistem bunyi yang sederhana sehingga secara umum mudah dipelajari oleh penutur asing. Dari segi gramatikal, bahasa Indonesia memiliki tata bahasa yang mengabaikan sistem waktu dan kata ganti orang yang rumit seperti bahasa Inggris, Arab, Jerman, dan Jepang.

Berikutnya, bahasa Indonesia harus berperan besar dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Dari sisi itu, bahasa Indonesia sudah memenuhi syarat tersebut. Di berbagai tingkat pendidikan mulai usia dini hingga perguruan tinggi, sudah ditunjang pengantar, referensi buku, bahan dan peraga pendidikan berbahasa Indonesia.

Dan yang terakhir, bahasa Indonesia harus digunakan dalam diplomasi dan perdagangan internasional. Dari sisi ini, Indonesia sudah memiliki prospek yang bagus karena telah menjadi negara resmi PBB yang aktif dalam forum internasional, seperti APEC, pengaruh besar di KTT ASEAN, dan menjadi anggota G-20, dan berbagai forum lain disebutkan Indonesia masuk ke dalam lima negara tujuan investasi terbaik di dunia. Hal ini menjadi sinyal positif yang menyebarkan bahasa Indonesia lewat forum internasional.

Teknologi informasi memiliki peranan penting dalam mendukung berkembangnya pemakaian bahasa. Blog, media, sosial, forum, dan portal informasi tentunya menjadi wadah positif bagi bahasa sebagai alat komunikasi publik. Mengutip data dari internetworldstat.com, bahasa Indonesia masuk dalam 10 bahasa di dunia yang sering dipakai di internet, khususnya WordPress. Di pihak lain, Indonesia juga menjadi negara pemakai media sosial dan aplikasi kirim pesan instan terbanyak di dunia.Tidak jarang jika ketersediaan dan pembaharuan aplikasi smartphone berpengantar bahasa Indonesia juga cepat tersedia.

Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Indonesia sudah tersebar di 45 negara. Jumlahnya pun kini terus meningkat dengan semakin minat orang asing mempelajari budaya Indonesia. Di sisi lain, bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa sehari-hari di beberapa daerah di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina. Bahkan Pemerintah daerah Ho Chi Minch City, Vietnam telah mengesahkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua sejak 2007. Belum lagi tersebar luasnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Australia, Malaysia, Kuwait, dan negara-negara lain yang akhirnya menjadi jembatan penyebaran bahasa Indonesia.

Daftar Rujukan

Badudu, J.S. Cakrawala Bahasa Indonesia II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Darma, Budi. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JP Books, 2007.

Moedjanto, G. Indonesia Abad Ke-20 1 (Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati). Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Munsyi, Alif Danya. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG, 2005

Yudhistira, Aria Wiratma. Dilarang Gondrong! (Praktik Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an). Tangerang: Marjin Kiri, 2005.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *