Bola Budi

Rumahku mundur dua meter setengah dari pohon mangga yang mulai berbuah. Itu sudah diukur oleh ayah ketika membangun dengan bantuan para tukang. Begitu juga ibu, mengukur sendiri luas dapur yang diinginkannya. Karena bagi ayah, dapur adalah kantor ibu, sedangkan kantor ayah adalah sekolah. Aku dan ayah satu sekolah. Ayah guru olahragaku dan aku siswanya nanti saat aku masuk SMP.

Aku paling mahir dalam pelajaran olahraga. Bukan karena ayahku adalah guru olahragaku, melainkan karena aku punya lapangan di rumah. Lapangan pertama, di teras. Sewaktu usiaku dua tahun setengah lebih muda dari sekarang, aku suka bermain sepak balon bersama teman sekaligus tetanggaku. Kami berdua saling sepak balon dengan berjaga di kedua sisinya. Luasnya kami anggap seukuran lapangan bola. Itulah pertama aku mengenal lapangan.

Lapangan kedua berada di dalam rumah. Tepatnya, dua meter setengah setelah ruang tamu. Lapangan itu dibuat untuk menggantikan teras yang benar-benar tidak ramah untuk bola sepak. Ayah sendiri yang tidak mau melihat aku lagi bermain sepak balon. Usiaku sudah tidak lagi seperti dulu. Ayah mengusulkan untuk menggantikan balon dengan bola sepak. Namun, rumah kami memiliki kaca yang panjang kali lebar. Kaca itu pernah bergetar, tidak sampai pecah, suatu hari saat bola sepak menyentuh kaca. Sejak saat itu, ayah melarangku bermain di teras. Ibu pun setuju. Teras adalah tempat istirahat ibu-ibu saat tidak lagi bekerja, selain di depan televisi.

Itulah sebabnya lapangan bola diciptakan di dalam rumah dengan ukuran dua meter setengah kali dua meter setengah. Gawangnya dari tutup kaleng bekas yang ditegakkan tanpa penyangga. Aku dan ayah jadi lawan. Aku punya gawang sendiri. Ayah juga punya gawang sendiri. Kami saling berusaha menjatuhkan kaleng lawan. Karena saling hapal gerak lawan dan mengerti luas lapangan, kami saling berbalasan gol. Aku menjatuhkan tutup kaleng bekas ayah, begitu juga sebaliknya, ayah menjatuhkan kaleng bekasku, tak menunggu lama. Sedangkan, ibu berkali-kali mengetuk-ngetuk panci dengan spatula meski tidak sedang bekerja. Ayah beranjak ke dapur dan seketika saja ayah menghentikan permainan dan mengganti bola sepak dengan bola basket. Sejak saat itu, lapangan sepak bola akan berganti menjadi lapangan basket.

Ayah memasang ring basket dengan bantuan seorang tukang. Ayah duduk di sofa dan membantunya dengan telunjuk. Tangga lipat itu memudahkan tukang itu dalam memasang ring basket. Sebelum dipaku, ayah berdiri, mundur dua langkah lebih sedikit untuk mengukur apakah ring sudah tepat posisinya dan tidak condong ke kanan maupun ke kiri.

Ayah meminta bantuanku untuk melempar bola basket ke dalam ring basket sedangkan ring basket sementara dipegang oleh tukang. Ayah ingin memastikan apakah aku bisa memasukkan bola basket melewati ring basket. Aduh! Itu bunyi bola basket saat melewati ring basket. Tukang cemberut, mengusap kepalanya, hendak turun tapi ayah mengacungkan dua jari. Tukang seketika tersenyum, kembali naik dan kembali memasang ring basket dengan memakunya. Di dapur, ibu mengaduk-aduk kopi dua sendok teh setengah dengan gelas cangkir untuk tukang. Setelah tukang selesai bekerja, dia meminum kopi dari mulanya menyeruput, wajahnya menekuk menahan ada salah takar, lalu langsung menegakkan wajah dan seketika diganti dengan tersenyum terpaksa. Aku penasaran dengan rasa kopi itu, tapi ibu sudah membuangnya meski kopi terlihat berkurang      dua sendok makan setengah. Tentu, ibu mencuci cangkir kopi setelah tukang pulang.

Sejak terpasangnya ring basket di dalam rumah, aku sering bermain basket. Ayah tidak kuat bermain basket. Aku bermain sendiri dengan menggiring bola dengan tangan dan memasukkannya dengan melompat, kadang cukup menjulurkan tangan. Ayah duduk dan bertepuk tangan. Ibu menonton televisi dan saat mendengar ayah bertepuk tangan, ibu turut bertepuk tangan. Begitu seterusnya. Aku merasa mahir karena tiap kali bola masuk ring basket, ayah dan ibu bertepuk tangan. Aku merasa aku membutuhkan kawan dan lawan tanding. Ayah membantuku dengan memasukkanku ke dalam tim basket di luar sekolah meski usiaku paling muda sendiri, dengan selisih sekitar dua tahun setengah dari kebanyakan pemain.

Ayah membanggakanku dengan mengatakan kepada pelatih bahwa aku mahir memasukkan bola basket ke dalam ring. Pelatih percaya dan ingin mengetahui apakah aku benar-benar mahir. Ayah mengangguk kepadaku. Badanku yang semula membusung tegak, jadi membungkuk karena aku ingin menggiring bola terlebih dahulu. Setengah berlari, aku gemetar karena tinggi ring di lapangan sebenarnya berbeda dengan tinggi ring yang ayah buat dengan bantuan tukang. Para pemain lain memberikan tepuk tangan dengan nada berderap sambil memujiku: Ayo, Budi bisa! Ayo, Budi bisa!. Aku tidak lagi gemetar, sempat menoleh mengangguk kepada ayah.

Sebelum aku melompat, aku ambil ancang-ancang dengan memantulkan bola basket, lalu menjulurkan tangan, dan bola langsung mengenai tiang ring, tanpa menyentuh ring sama sekali. Aku berlari, mengambil bola, mencoba kesempatan kedua, tapi pelatih bilang bahwa itu sudah cukup. Ayah memberi jempol kepadaku dan para pemain lain memberi tepuk tangan yang lebih keras dari sebelumnya. Aku merasa bahwa mengenai tiang ring sudah cukup membuatku masuk ke dalam tim basket.

Sejak aku masuk tim basket, Rabu malamku selalu berkeringat. Kami berlatih setiap hari Rabu dan Minggu. Untuk hari Minggu, kami berlatih di pagi hari yang dulunya aku gunakan menonton kartun di televisi bersama teman sekaligus tetanggaku. Hari Minggu adalah hari istimewa bagiku karena aku bisa menguasai televisi. Sekarang, ayah bisa menonton tinju dan berebutan dengan ibu menonton gosip untuk bahan bersama ibu-ibu. Tapi, ibu mengalah dan kembali ke kantornya, dapur yang disenanginya.

Minggu pertama, badanku lemas seperti balon yang melesat karena katupnya melepaskan udara. Sama halnya dengan ayah, langsung melesat meninggalkanku setelah menurunkanku depan gedung. Ayah tidak menemaniku saat berlatih. Jadi, ayah tidak mengerti seberapa keras aku berlatih, berlari-lari, dan menggiring bola basket. Baru pertama kali aku berlari bersama-sama dan aku paling depan dari belakang. Perlahan-lahan, teman satu tim bisa melihat punggungku setelah berlari dua putaran dan aku sedang menempuh satu putaran lebih. Mereka mengikuti kecepatanku sembari bersorak dan bertepuk tangan. Tak lama, pelatih meniup peluit untuk mengakhiri berlari. Aku juga lega mengakhiri menjadi terdepan. Aku pulang paling terakhir menunggu ayah menjemputku.

Minggu kedua dan minggu ketiga, tetap sama saja. Pada minggu keenam, ayah mulai bertanya kepada pelatih kapan aku turut bertanding. Itu terjadi tiap sebelum pulang. Setiap kali ayah bertanya, pelatih sedikit malas menjawab, namun terakhir dia bilang, empat bulan lagi ada pertandingan sehingga tim akan berlatih lebih keras. Ayah tersenyum, menungguku selesai berlatih sekalian berkabar kepada ibu saat pulang nanti.

Empat bulan yang dikabarkan telah datang, ayah dan ibu memutuskan menonton pertandinganku. Jauh di belakang, ayah dan ibu memilih bangku tribun paling pojok. Mereka tidak ingin aku tahu mereka hadir di lapangan. Dengan posisi duduk yang jauh dan terpencil, mereka sering kali memicingkan mata, untuk memastikan apakah aku sudah berlari, mengoper bola, atau bahkan menyumbang skor. Mereka sulit membedakan karena yang nampak bagi mereka adalah kaus timku berwarna merah. Semua yang berwarna merah dan mencetak skor, mereka menganggap itu adalah aku.

Pertandingan  berjalan sengit karena saling berbalas skor, namun hasil akhir berkata lain. Timku meraih kemenangan. Penonton bertepuk tangan meriah. Ayah senang dan bersemangat berkata kepada orang asing di sebelahnya bahwa anaknya turut bertanding dan turut menyumbang skor. Ibu menunduk terharu. Ayah langsung menarik ibu untuk turun dari tribun penonton, mencariku untuk memberi ucapan selamat. Mereka mendapati aku sama sekali tidak berkeringat, kecuali daerah wajah. Ibu seketika mengelap wajahku dan ayah menggendongku bak piala. Teman satu tim termasuk pelatih bertepuk tangan lebih meriah daripada tepuk penonton tadi. Aku pun terpaksa tersenyum meski tempat duduk yang kududuki sepanjang pertandingan masih hangat bekas kududuki.

Cerita kemenanganku ini sampai di sekolah. Ayah berperan dalam menyebarkan berita baik ini bersamaan dengan hari pertama aku masuk SMP tempat kantor ayah, sebagai siswa. Teman-teman baruku turut bangga. Mereka bilang, tidak rugi sebagai anak guru olahraga, aku masuk tim basket. Sejak saat itu, mereka percaya aku mahir berolahraga. Tidak hanya basket, tapi olahraga lain. Sebagai atlit basket, aku harus menjaga stamina. Kata ayah, aku tidak boleh terlalu lelah di pelajarannya. Itulah sebabnya, sebelum aku berkeringat seberas dan sejagung, aku diminta berhenti oleh ayah. Teman-temanku memaklumi. Mereka termotivasi untuk menjadi atlit basket sepertiku.

Karena jarang berkeringat dan bergerak, perutku turut menyaingi perut ayah. Perut ayah, sejak menjadi guru olahraga, sudah membesar seolah-olah ada bola sepak yang masuk ke dalam perutnya. Dengan mengampu 18 kelas, ayah meminta setiap siswa membayar iuran sebesar lima ribu rupiah agar tiap kelas memiliki satu bola sepak. Mereka tidak lagi berebutan. Aku tidak tahu jumlah siswa keseluruhan, namun kelasku berisi tiga puluh siswa. Mereka sepakat tanpa menolak membayar iuran itu dengan wajah cemberut selain aku. Iuran terkumpul. Dua minggu setengah setelah iuran terkumpul, ayah membelanjakannya dengan sejumlah bola. Ada banyak sekali bolanya yang langsung dikirim ekspedisi pengiriman ke kantor. Teman-teman senang. Aku juga turut senang. Mereka ingin menghitung apakah bola sepaknya ada 18, tapi ayah langsung mengusir mereka meninggalkan kantor. Ayah bilang, dia ingin merapikan tanpa ada yang boleh mengganggu. Aku diusir juga. Aku ikut mereka.

Setelah pembelian bola sepak, ayah suka membelikanku pentol dengan bantuan temanku. Aku duduk menunggu temanku. Begitu juga ayah, duduk menunggu. Ayah dari dulu suka duduk-duduk. Bahkan, ketika jam olahraga, ayah suka duduk dengan siswa yang berlari. Guru duduk, siswa berlari, termasuk aku. Ayah menyuruhku tetap berlari banyak berjalan jika menginginkan pentol di jam istirahat. Aku menurut. Aku tidak kenal lelah karena keringat tak terlalu banyak. Lama-lama, perutku membesar berisi pentol-pentol pemberian ayah.

Teman-temanku ada yang mencoba menghitung berapa bola sepak yang ada di dalam kantor secara diam-diam. Namun, ayah langsung muncul, mengusir mereka sambil tangan kanan memegang sebungkus pentol dan tangan kiri bersiap meniup peluit. Peluit ayah bagus seperti peluit pelatihku. Ayahku adalah seorang pelatih. Teman-temanku tunggang-langgang setelah mengambil satu bola sepak. Pernah, bola sepak tiba-tiba habis. Ayah bilang dipinjam siswa dan tidak dikembalikan. Mereka berpikir jika satu kelas memiliki satu bola, mengapa bola bisa sampai habis. Di belakang, mereka membicarakan ayah. Sejak saat itu, aku percaya, diam-diam ayah memakan bola sepak itu hingga habis.

Karena kewalahan dengan jumlahnya yang banyak, mungkin ayah meminta bantuan ibu secara diam-diam tanpa sepengetahuanku. Hal ini aku ketahui setelah tiba-tiba perut ibu lama-lama membesar seukuran bola sepak. Ibu bilang, aku nantinya akan jadi anak kedua dari terakhir setelah adikku lahir. Aku gembira punya saudara lagi. Kakak pertamaku sudah bekerja jauh, tinggal bersama istrinya. Kakak keduaku merantau jauh demi kuliah di luar provinsi sembari bekerja lepas. Mereka berdua jarang sekali pulang kampung kecuali hari raya.

Saat hari raya tahun ini, mereka kaget karena pohon mangga depan rumah berjarak dua meter setengah dulu sudah dipotong oleh ayah meski sudah berbuah lebat. Tanahnya pun tertutup penuh oleh blok paving. Keramik rumah juga berganti lebih bercorak dari sebelumnya yang hanya putih tulang. Dapur tempat kantor ibu sudah terisi perabotan yang sebelumnya tidak ada. Sejak dapur terisi perabotan bagus, ibu suka sekali memasak meski di dalam perutnya mulai ada bola yang agak membesar. Ayah suka sekali duduk-duduk sambil menonton pertandingan sepak bola, kadang tinju, dengan televisi layar datar.

Hari raya ini kami genap berenam. Kami senang sekali. Kakak pertama bangga karena pembangunan ini pasti hasil dari uang kirimannya. Begitu juga kakak kedua, merasa bahwa uang kiriman bekerja lepas ada harganya di mata ayah dan ibu. Aku juga senang mendapat uang saku berlimpah dari kedua kakakku serta dari ayah. Kita semua juga bangga dan senang bahwa aku punya adik dengan kepala bulat sempurna. Ayah bilang, dia nanti akan jadi atlit basket. Ibu sendiri lemas seperti balon kehilangan udara.

Surabaya, Juni 2022

Cerpen ini pernah mendapat juara 3 pada Lomba Menulis Cerpen Magister Sastra UGM yang diselenggarakan pada bulan Juni 2022.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *