PS. Tulisan ini pendek karena tujuan utamanya untuk mengikuti Sayembara Resensi Novel Kalipa (sekarang berganti nama menjadi Kalimasada) 2021. Informasi lebih lanjut, bisa dicek pada tautan Instagram saya berikut: https://www.instagram.com/share/p/BAu1Vayizy
Isinga (2015), novel berlatar Papua karya Dorothea Rosa Herlianay, membuka sekaligus menutup ceritanya dengan sebait puisi yang sama: Matahari dan bulan itu bagaikan dua bersaudara// Matahari adalah anak lelaki dan bulan adalah anak perempuan// Bulan datang pada malam hari// Ia mengerjakan tanah// Matahari datang pada siang hari// Ia menanam bibit// Dan bintang? Bintang adalah mata burung, mata kuskus, mata kodok// Sedangkan yang cahayanya cemerlang, itu mata manusia//. Sebelum menamatkan, kita boleh berasumsi bahwa puisi tersebut mengambil bagian di dalam cerita. Setelah menuntaskan dan memahami isi cerita, kita bisa berkesimpulan bahwa puisi tersebut semacam part of no part. Ranciere (2010: 36) menyatakan bahwa suatu bagian bisa hadir untuk melengkapi dengan menjadi bagian dari mereka yang tidak memiliki bagian, yang tentu identik dengan keseluruhan. Dengan kata lain, jika kita melepas puisi tersebut, maka cerita tetap berjalan. Kesimpulan selanjutnya yang bisa ditarik adalah puisi tersebut seolah-olah menjadi bayang-bayang cerita, spoiler, serta usaha pemampatan isi cerita menjadi sebait puisi. Kesadaran tersebut, tentu, baru diketahui seusai menamatkannya.
Dorothea cakap menggambarkan eksotisme Papua, mulai dari cara berpakaian perempuan dan laki-laki, tradisi dan kepercayaan yang dianut, peperangan antarsuku, pendatang dari luar Papua, bentuk bangunan dan cara mencari makanan, serta keindahan alamnya. Kecakapan ini tentu bagus untuk dibaca dan dicermati sebagai pengetahuan baru. Namun, di sisi lain, novel ini terasa seperti buku antropologi menjemukan yang memamerkan secara terbuka pengetahuan penulis perihal Papua, alih-alih fokus terhadap tokoh dan ceritanya. Bakhtin menyebutnya sebagai tuturan monologis, yakni (Faruk, 1994: 135) bila di dalamnya tidak ditemukan sama sekali suara lain selain suara pengarang, tidak adanya persoalan pengombinasian suara-suara. Dengan kata lain, para tokohnya terdesak oleh narasi si penulis sehingga ruang gerak mereka sempit karena tidak diberi kesempatan. Tindakan mereka terkesan nanggung, setengah-setengah, karena dibebani wacana perihal Papua.
Selain terdesak narasi, dari sisi semesta cerita di Isinga,para tokohnya berada pada posisi terancam, terasingkan, karena situasi yang mereka alami serta karena budaya setempat. Melvin Seeman (1959) mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk alienasi, yakni powelessness (ketakberdayaan), meaninglessness (ketakbernilaian), normlessness (ketakberaturan), social isolation (isolasi sosial), dan self-estrangement (keterasingan diri). Alienasi tersebut nampak jelas jika kita memperhatikan satu per satu tokoh berikut: Irewa, Meage, dan Malom, karena cerita digerakkan oleh mereka.
Ketakberdayaan (Seeman, 1959: 784) mengacu kepada rasa ketidaksesuaian individu antara harapannya sekaligus keinginannya untuk mengontrol suatu situasi. Hal ini tampak jelas pada Irewa, tidak punya kendali atas penculikannya oleh Malom serta dijodohkan dengan Malom, sekaligus menjadi yonime, juru damai antara Aitubu-Hobone. Ia harus menerima perjodohan tersebut daripada terjadi peperangan. Irewa juga mengalami ketakbernilaian. Seeman (1959: 786) mengartikannya ketika individu tidak jelas apa harus ia percayai serta ketika standar minimal individu untuk klarifikasi pengambilan keputusan tidak terpenuhi. Akibatnya, Irewa merasa seperti terhukum meski menjadi yonime, jauh dari Meage, pujaan hatinya karena permainan tifanya, dan keluarganya. Ia juga harus melayani nafsu suaminya, beranak-pinak tanpa jeda kecuali keguguran, sembari tetap mengurus anak, kebun, dan dapur, sama seperti perempuan yang lain: semua perempuan di pegunungan Megafu punya tugas menyediakan makan bagi keluarga masing-masing, dalam keadaan yang bagaimanapun, tugas itu harus dilakukan (2015: 62). Bahkan, ia sempat terjangkit sifilis atas tabiat Malom seusai dari Surabaya. Sejak itu, ia menyakini peran yonime tidak sebagai juru damai, tetapi juga akan didengar tetua adat dan orang-orang yang dihormati di kampung-kampung itu, menjaga keharmonisan masyarakat, juga bisa menjadi si penyelamat (2015: 156-157). Ia memberi penyuluhan atas bahaya berhubungan bebas lewat ibu-ibu dan ia pernah datang ke sekolah lama Ansel di SMP dan sekolah baru Ansel di SMA (2015: 190).
Ketakberaturan (Seeman, 1959: 787) menunjukkan situasi di mana norma-norma sosial yang mengatur perilaku individu telah rusak atau tidak lagi efektif sebagai aturan perilaku. Keterasingan tersebut dialami oleh Meage. Ia terpaksa kabur dari Aitubu karena para pemuda Aitubu hendak melancarkan serangan ke Hobone atas penculikan Irewa. Ia tidak ingin berperang karena manusia tak boleh membunuh manusia lain (2015: 38). Selanjutnya, Meage mengisolasi diri dengan diam-diam, kaki Meage melangkah, menyelinap keluar dari kelompoknya, masuk ke dalam hutan (2015: 39), menyelamatkan perempuan, hidup bersama orang Yebikon (2015: 116), dan bergabung bersama kelompok musik Farandus, masuk ke norma baru. Menurut Seeman (1959: 788-789), isolasi berarti menjadi terasing dari masyarakat dan budaya yang dibawanya untuk berusaha mewujudkan suatu struktur sosial yang baru.
Malom, suami Irewa, mengalami keterasingan diri, yakni (Seeman, 1959: 790) tingkat ketergantungan perilaku yang diberikan pada imbalan yang berada di luar aktivitas itu sendiri. Ketika berhubungan badan dengan Irewa, Malom hanya berpikir seks tanpa percakapan intimasi serta menuntut Irewa seperti bambu yang mudah beranak pinak (2015: 143) agar makin berharga dan bermartabat, tanah luas, agar prajurit mati ada yang menggantikan (2015: 91). Keterasingan ini disebabkan oleh keegoisan dirinya sendiri, yakni nafsu birahi yang tak tertahankan: Malom tak hanya mencoba satu perempuan, hari-hari berikutnya sebelum kapal berangkat ke Papua, ia ke wisma lain, ke perempuan lain (2015: 134). Kesempatan itu didapat saat mengikuti lomba dayung ke Surabaya. Di penginapan, ia berkenalan dengan Hermawan dan semakin akrab. Darinya, Malom mengenal Dolly: sebuah tempat di Surabaya yang di dalamnya ada ratusan tempat, besar-kecil yang menyediakan pelacur (2015: 132). Tindakan Malom yang suka main perempuan tersebut berdampak pada Irewa: ada bisul di vaginanya, ada bintik-bintik merah di seluruh telapak tangan dan kakinya, bintik merah yang lebih lebar juga ada di punggungnya (2015: 135). Meski begitu, nafsu Malom tidak berhenti di Surabaya saja. Malom sering pergi ke ‘kota’ Distrik Yar untuk bersenang-senang, minum-minuman keras dan pergi dengan para perempuan, baik perempuan muda Papua atau perempuan Jawa pelacur (2015: 152). Puncaknya, Malom lalu menjual rumahnya ke orang yang membutuhkan itu (2015: 184), lalu pindah, membeli sebuah rumah baru di “kota” distrik (2015: 184) agar lebih dekat untuk melepas birahi sesukanya kepada para pelacur di sana.
Sayangnya, sampai ujung novel, tidak dikisahkan lagi bagaimana nasib Malom selepas itu, apakah lebih buruk dengan terjangkit penyakit kelamin atau malah tetap bisa bersenang-senang dengan kondisinya yang baru.
Jingi hadir sebagai antitesis dari Irewa. Keduanya adalah saudara kembar yang sangat kentara perbedaannya, matahari dan bulan itu bagaikan dua bersaudara (2015: 1) Dialektika Hegel (Wheat, 2004) berkutat pada tiga tahap, yakni 1) tesis yang merupakan ide atau konsep, 2) antitesis adalah ide yang berlawanan dengan tesis, 3) sintesis adalah ide klimaks yang bisa dengan menggabungkan tesis dan antitesis atau kompromi dari keduanya. Jingi terpaksa diasingkan sejak kelahirannya karena kepercayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat: kala ada bayi kembar, salah satu harus dibuang ke sungai atau dibunuh (2015: 86). Namun, nyawanya diselamatkan oleh Suster Karolin dan Suster Wawuntu. Tentu saja, Jingi belum menikah, malahan sedang bersekolah (2015: 199), mengenyam pendidikan kedokteran di Manado, berlanjut ke Belanda. Irewa diberi ponsel oleh Jingi serta saling berkirim surat sehingga menciptakan sintesis bahwa eksotisme Papua perlu digagahi oleh modernisme.
***
Daftar Pustaka
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post
Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Herlianay, Dorothea Rosa. 2015. Isinga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ranciere, Jacques. 2010. Dissensus On Politics and Aesthetics. New York:
Continuum International Publishing Group.
Seeman, Melvin. 1959. On the Meaning of Alienation. American Sociological Review, 24(6), pp. 783-791. Wheat, Leonard F. 2004. Hegel’s Undiscovered Thesis-Antithesis-Synthesis Dialectic. New York: Prometheus Books.
Tinggalkan Balasan