PS. Artikel ini mulanya ditulis untuk dipresentasikan di kegiatan Academic Student Networking (2023) yang difasilitasi oleh Universitas Gadjah Mada di Universitas Udayana. Kemudian, berpijak pada artikel setelah merombak sebagian konsep berpikirnya (termasuk sebagian objek material dan teori yang digunakan), lalu dikembangkan menjadi tesis yang berjudul "Representasi (Wilayah) Indonesia Timur dari Pandangan Penulis Indonesia Barat". Tesis tersebut meninjau bahwa sebagian novel Indonesia yang ditulis oleh penulis dari Jawa masih mewarisi budaya kolonialisme sehingga menganggap masyarakat Timur itu terbelakang, amoral, dan seturutnya. Rencananya, tesis tersebut akan diterbitkan. Namun, masih menunggu penerbit yang berniat menerbitkannya.
Sumber Informasi
Abstrak
Artikel ini membahas fenomena residensi penulis Indonesia yang diadakan oleh Komite Buku Nasional, dari tahun 2016 – 2019, di bawah naungan Kemendikbudristek, meskipun juga meninjau fenomena serupa di luar program tersebut. Dalam rentang tahun itu, ada 87 peserta residensi dengan rincian: 60 peserta dengan tujuan ke luar negeri dan 27 peserta dengan tujuan di wilayah Indonesia. Dari 27 peserta tersebut, dipecah lagi dengan rincian berikut: ada 11 penulis dari Indonesia bagian barat untuk tujuan tetap di Indonesia bagian barat, seorang penulis dari Indonesia bagian timur dengan tujuan ke timur, dan 15 penulis dari Indonesia bagian barat dengan tujuan ke timur.
Dari data yang telah didapat dengan sistem seleksi, yakni karya-karya hasil residensi dari Indonesia bagian barat tujuan Indonesia bagian timur, kemudian diulas dengan sastra perjalanan Thompson dan orientalisme Said. Dua rumusan masalahnya sebagai berikut: 1) bagaimana penulis Indonesia Barat merepresentasikan Indonesia Timur? 2) bagaimana penulis perempuan Indonesia Barat merepresentasikan Indonesia Timur? Dalam hal ini, adalah kary Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut (2000)¸Dorothea Rosa Herliany dengan novel Isinga (2015), Dian Purnomo dengan novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam (2020).
Penelitian ini menggunakan dua macam objek material, yakni: 1) secara holistik berupa kecenderungan penulis Indonesia Barat menulis tentang daerah Indonesia Timur, baik dari residensi KBN maupun tidak; 2) secara parsial berupa karya yang telah disebutkan di depan. Kemudian, perpindahan dari sisi holistik ke parsial tersebut, peneliti menggunakan pendekatan post-postivisme.
Dua hasil yang didapatkan, yakni: 1) Ada stereotip “Barat” dan “Timur” pada semua karya yang dibahas. Hal ini menunjukkan bahwa penulis Indonesia Barat memiliki kuasa dalam mendefinisikan Timur atau menciptakan ilmu pengetahuan terhadap Timur; 2) Penulis perempuan cenderung ada suara narator yang sifatnya membandingkan daerah asal dengan tempat asing. Selain itu, penulis juga merasa dirinya setara dengan wanita di lokasi.
Kata kunci: residensi penulis, sastra perjalanan, orientalisme
Abstract
This article discusses the phenomenon of Indonesian writer residencies held by National Book Comitte, since 2016 – 2019, under the auspices of the Ministry of Education and Culture, although it also reviews similar phenomena outside the program. Within that year, there were 87 residency participants with details: 60 participants with destinations abroad and 27 participants with destinations within Indonesia. Of the 27 participants, they were further divided into the following details: there were 11 writers from western Indonesia with the aim of staying in western Indonesia, one writer from eastern Indonesia with the aim of going east, and 15 writers from western Indonesia with the aim of going east.
From data obtained through a selection system, namely works resulting from residencies from western Indonesia to eastern Indonesia, then reviewed with Thompson’s travel literature and Said’s orientalism. Two formulations of the problem are as follows: 1) how do Western Indonesian writers represent Eastern Indonesia? 2) how western Indonesian female writers represent Eastern Indonesia?
This research uses two types of material objects, namely: 1) holistically in the form of the tendency of Western Indonesian writers to write about Eastern Indonesia, whether from National Book Comitte’s residency program or not; 2) partially in the form of the work mentioned above. Then, moving from the holistic to the partial side, researchers used a post-postivism approach.
Two results were obtained, namely: 1) There are “Western” and “Eastern” stereotypes in all the works discussed. This shows that Western Indonesian writers have the power to define the East or create knowledge about the East; 2) Female writers tend to have a narrator’s voice that compares their home region with foreign places. Apart from that, the author also feels that he is equal to the women on location.
Keyword: writer’s residency, travel writing, orientalism
I learn by going where I have to go
(Theodore Roethke, The Waking 1953)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya sastra yang ditulis oleh penulis seorang tak melulu perihal tentang dunia asalnya, baik menyangkut tanah kelahiran maupun tanah tempat dia menetap. Kerap, perlu melancong, melihat dari dekat tempat yang selama ini dia teropong, untuk kemudian mengemasnya menjadi sebuah karya sastra. Salah satu cara menulis karya sastra tersebut adalah lewat program residensi.
Program residensi adalah program yang ditunggu-tunggu oleh kalangan seniman dan penulis. Selain bisa mengunjungi tempat asing yang diinginkan atau yang telah ditentukan oleh pihak penyelenggara, mereka bisa menghimpun data untuk bahan kekaryaan mereka selanjutnya. Salah satu program residensi penulis yang sempat gaung namun sayangnya hanya bertahan seumur jagung adalah program Residensi Penulis Indonesia yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional (di bawah naungan Kemendikbudristek, hanya dalam rentang tahun tahun 2016 – 2019[1]. Penulis dari berbagai segmen, mulai dari sastra, jurnalistik, komikus, penulis naskah film, penulis buku anak, dan lain sebagainya, serta dari berbagai daerah di Indonesia mengusulkan kota tujuan tempat penulis akan melakukan riset. Kota tujuan tak hanya terbatas yang ada di Indonesia, namun juga bisa memilih kota di luar negeri.
Sebagai gambaran dari data yang telah dihimpun dari berbagai sumber di internet[2], dalam rentang tahun tersebut, ada 87 penulis[3] residensi dengan rincian: 60 penulis ke luar negeri dengan tujuan Belanda terbanyak (11 penulis) dan di wilayah Indonesia sebanyak 27 penulis. Dari data tersebut, jelas terpampang bahwa tujuan ke luar negeri bagi penulis residensi memang menggiurkan, entah dari segi pendanaan, lokasi tujuan, tujuan pengumpulan data riset, maupun penulis sebagai perpanjangan tangan diplomasi antar kedua negara. Namun, alih-alih melihat kecenderungan ideologis para penulis untuk lebih memilih tujuan luar negeri ketimbang Indonesia, artikel ini ingin meninjau dari sisi lain: mengapa penulis Wilayah[4] Indonesia Barat lebih memilih Wilayah Indonesia Timur dan sebaliknya, tidak ada penulis Wilayah Indonesia Timur yang memilih ke Wilayah Indonesia Barat (selanjutnya, akan disingkat WIB dan WIT).
Hal tersebut dibuktikan dari rincian data berikut. Rentang 2016-2019, ada sebanyak 11 penulis WIB yang tetap memilih WIB sebagai tujuan. Dari sebelas penulis tersebut, ada dua penulis yang sudah menerbitkan hasil residensinya, yakni Dadang Ari Murtono asal Mojokerto tujuan Ciamis (residensi pada tahun 2018) dengan buku puisi berjudul Jalan Lain ke Majapahit (2019) dan Niduparas Erlang (menggunakan nama asli Endin Saparudin saat residensi pada tahun 2019) asal Serang tujuan Mentawai dengan novel berjudul Burung Kayu[5] (2020). Kemudian, hanya ada satu penulis WIT ke WIT, Deasy Tirayoh, yang asalnya dari Kendari dengan tujuan residensi ke Bali[6]. Terakhir, ada 15 penulis WIB dengan tujuan WIT. Dari 15 penulis tersebut, hanya ada dua penulis (sama-sama residensi pada tahun 2019) yang telah menerbitkan buku hasil dari residensinya, yakni: Royyan Julian asal Pamekasan tujuan Mollo dengan buku puisi Korpus Ovarium[7] (2022) dan Dian Purnomo asal Jakarta tujuan Sumba Barat dengan novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam (2020) (selanjutnya, disingkat PyMkBH).
Namun, jika kita tarik lebih luas batasan wilayahnya, tidak terbatas pada karya residensi penulis KBN, maka tidak juga kita temukan penulis dari WIT yang menulis tentang WIB. Sebaliknya, sejauh pengamatan peneliti, ditemukan tiga karya dari penulis perempuan WIB yang menulis tentang WIT, yakni: Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut (2000), dan Dorothea Rosa Herliany dengan novel berjudul Isinga[8] (2015), dan Dian Purnomo dengan novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam (2020). Dengan adanya tiga karya tersebut, semakin memperkuat dugaan sementara bahwa ada ideologi orientalisme dalam menulis Indonesia Timur.
Dari temuan bahwa banyak yang memilih ke WIT serta dengan melihat kedua karya tersebut sebagai bentuk karya sastra perjalanan dan usaha mendefinisikan WIT dengan perspektif WIB, maka keduanya bisa ditinjau dengan sastra perjalanan Thompson dan orientalisme Said. Oleh sebab itu, bisa ditarik dua tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1) untuk mengetahui pandangan penulis WIB banyak memilih tujuan ke WIT; 2) untuk mengetahui representasi penulis perempuan Indonesia Barat terhadap Indonesia Timur.
Tujuan Penelitian
Dari latar belakang tersebut, tidak ditemukan penulis WIT dengan tujuan WIB, namun sebaliknya, WIT adalah wilayah paling laris untuk dijadikan tujuan residensi jika dibandingkan dengan WIB. Hal ini menunjukkan bahwa penulis WIB melihat WIT sebagai daerah yang eksotik dan masih kental dengan tradisi sehingga penulis WIB ingin mendefinisikan WIT lewat karya sastra mereka. Anggapan ini terus direproduksi oleh penulis WIB sehingga bepergian ke arah timur untuk tujuan penulisan sastra perjalanan, dalam hal ini residensi penulis, lebih menarik ketimbang di sekitar WIB sendiri. Eksotik (Said, 1979: 117) tidak hanya didukung oleh para pelancong dan penjelajah, dan dalam hal ini peserta residensi juga termasuk di dalamnya, tetapi juga oleh para sejarawan yang bisa memanfaatkan pengalaman Eropa dibandingkan dengan peradaban lain.
Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki dua tujuan: 1) mengetahui penulis Indonesia Barat dalam merepresentasikan Indonesia Timur, 2) mengetahui representasi penulis wanita Indonesia Barat terhadap Indonesia Timur.
Landasan Teori
Karya sastra yang berisi perjalanan penulis, baik selama perjalanan maupun saat di tujuan, kita bisa sebut sebagai sastra perjalanan. Tapi, sastra perjalanan bukan hanya sekadar tulisan menarik tentang suatu tempat. Thompson (2011: 10–11) sendiri memiliki definisi tersendiri terkait sastra perjalanan, yakni negosiasi antara diri si pengarang dan orang lain saat berpindah ruang, yang memiliki dua aspek penting: pertama, laporan tentang dunia yang lebih luas, baik itu tentang orang asing maupun tempat baru; kedua, dari laporan tersebut, bisa terungkap budaya antar keduanya, baik dari sisi pengarang maupun tempat tujuan.
Istilah sastra perjalanan tersebut berasal dari istilah travel writing[9]. Lebih lanjut, narasi yang ditawarkan pada sastra perjalanan hampir selalu retropektif[10] dengan menggunakan sudut pandang orang pertama[11] tentang pengalaman penulis tentang suatu perjalanan, tempat asing, atau manusia di dalamnya (Thompson, 2011: 14). Karena ada subjektivitas penulis di dalam narasinya tersebut, sastra perjalanan juga kerap berisi suatu tanggapan penulis terhadap tempat itu, baik berupa kesan, pemikiran, dan perasaan, yang dileburkan di dalam cerita. Namun, sastra perjalanan juga bisa diartikan lebih luas, yakni apapun yang melaporkan perjalanan. Thompson (2011: 13, 25) mengatakan bahwa tidak sebatas publikasi tulisan, namun juga berbagai bentuk publikasi lainnya, bahkan peta, foto, dan film, meski tidak berbentuk teks, masih bisa digolongkan sebagai “teks”, yang merepresentasikan dunia yang dikonstruksi secara artistik, bermuatan ideologis, dan mengandung makna budaya di dalamnya.
Meski sastra perjalanan ini tidak memiliki batasan yang ketat dengan genre lain, seperti autobiografi, etnografi, penulisan alam dan fiksi, Thompson (2011: 12) meluruskan bahwa ada dua poin penting pada sastra perjalanan:keterjalinan antara fakta dan fiksi serta persoalan nilai sastra dan budaya. Masih terhubung dengan Thompson, Akmal (2014: 2) melihat ada empat poin penting sebagai landasan dasar untuk mengkategorikan sebuah tulisan ke dalam sastra perjalanan: encounter, movement, self-others, space, dan writing. Encounter (pertemuan)terjadi akibat dari movement (aktivitas perpindahan dari satu tempat ke tempat lain) yang kemudian menciptakan suatu nilai antara dua hal yang berbeda yang disebut self-others (terjadi pergulatan antara budaya si penulis dengan budaya pada tempat yang ditinggali) untuk ditulis dalam bentuk catatan, dalam hal ini karya sastra bisa berupa puisi, cerpen, maupun novel.
Hal tersebut menyambung pada tiga konsep penting untuk mengidentifikasi sastra perjalanan, yakni sebagai berikut. Pertama, reporting the world. Prinsipnya (Thompson, 2011: 62, 65), sastra perjalanan bertujuan membawa berita ke dunia yang lebih luas, menyebarkan informasi tentang orang dan tempat asing, dan, paradoksnya, keterasingan kerap diungkapkan dengan rasa takjub. Kedua, revealing the self. Narator akan tampak melibatkan dirinya dalam memandang keadaan di tempat barunya sehingga ia akan berkomentar sebagai bentuk dorongan untuk intropeksi (Nasution, 2015: 26), (Thompson, 2011: 98). Ketiga, representing the other. “The other” di sini adalah menggambarkan budaya di tempat baru tidak hanya berbeda, namun juga tampak inferior terhadap budaya itu sendiri sehingga penulis sastra perjalanan harus terlibat membeda-bedakan budaya, antara budayanya sendiri dengan budaya di tempat asing tersebut (Thompson, 2011: 132). Antara self (budaya penulis) dan other (budaya asing)ini akan timbul pergulatan nilai. Nasution (2015: 28) melihat bahwa tidak hanya menggambarkan perbedaan, namun ada masalah inferioritas terhadap budaya tertentu. Ada budaya yang dianggap lebih luhung ketimbang budaya lain.
Selain ketimpangan budaya, Thompson juga melihat ada perbedaan antara penulis laki-laki dan perempuan saat menulis sastra perjalanan. Tujuan yang paling umum (Thompson, 2011: 174) diinginkan oleh penulis sastra perjalanan adalah membawa kembali pengetahuan tentang tempat-tempat lain dan seringkali agenda ini diselipkan dengan hal-hal yang bersifat gender, baik secara halus maupun terang-terangan, dengan berbagai cara. Stereotip yang muncul dari penulis laki-laki dan perempuan saat menulis sastra perjalanan adalah sebagai berikut:
Laki-laki dianggap serius melakukan perjalanan dibarengi dengan intelektualnya serta laki-laki seringkali menjadi tumpuan ekspektasi bahkan suatu kewajiban menulis (mengadopsi serangkaian wacana, postur, dan gaya) dengan serius agar ditandai sebagai maskulin. Selain itu, tolok ukur umum yang menunjukkan dan menegaskan maskulinitas adalah tingkat bahaya dan ketidaknyamanannya, baik saat perjalanan maupun tiba di tujuan. Semakin besar risiko dan kesulitannya, semakin gagah dan heroik penulis tersebut (Thompson, 2011: 175–176).
Sedangkan, perempuan dianggap dangkal intelektualnya. Hal tersebut dikarenakan perempuan cenderung mengutamakan perasaan di atas intelektualnya, subjektivitas di atas objektivitas, atau lebih emosional ketimbang menyampaikan informasi secara akurat dan efisien. Selain itu, perempuan punya banyak kendala: hambatan gender, ketakutan terhadap kekerasan, terutama kekerasan seksual, serta tingkah laku dan pakaian yang menyesuaikan saat sampai di tujuan (Thompson, 2011: 185–195).
Dari kendala yang dihadapi, perempuan kerap membandingkan posisinya berdasarkan penerimaan saat berada di tempat tinggalnya semula dengan tujuan perjalanan. Oleh sebab itu, atas perbedaan pada laki-laki dan perempuan, tulisan perempuan mudah terlihat bedanya dengan tulisan laki-laki dalam hal sastra perjalanan dengan melihat kepekaan terhadap isu-isu gender dan kesadaran terhadap lingkungan (Thompson, 2011: 197). Keduanya, antara penulis perempuan dan laki-laki, sudah beroperasi secara historis dengan cara yang normatif sehingga mempengaruhi perbedaan keduanya dalam menulis sastra perjalanan. Dalam artian, kecenderungan yang telah dikemukakan tersebut sudah berjalan ratusan tahun lamanya sehingga tertanam pada kesadaran mereka dan terus berlangsung hingga saat ini pada keduanya.
Lebih lanjut, Thompson (2011: 134) menganggap bahwa dimensi ideologis dari sastra perjalanan cenderung menciptakan ruang permusuhan dan merendahkan kelompok tertentu sehingga kajian sastra perjalanan bertalian dengan kajian poskolonialisme, terutama orientalisme yang digagas Edward Said. Secara singkat, orientalisme adalah suatu pandangan Barat terhadap Timur yang cenderung distingtif, tidak setara, dan stereotip. Said (Sari dkk., 2023: 151–152) mengemukakan ada tiga definisi orientalisme, yakni: 1) orientalisme adalah pemikiran yang mendasari perbedaan epistemologi dan ontologi antara Barat dan Timur, antara supremasi Barat dan inferioritas Timur; 2) orientalisme adalah bidang penelitian akademis yang mencakup setiap orang yang mengajar, menyelidiki, dan menulis tentang Timur; 3) orientalisme adalah lembaga korporat yang berurusan dengan Timur.
Lebih lanjut, Said (1979: 34) mengkritisi pandangan Balfour dari pidatonya yang mendikotomi Barat dan Timur yang terlihat dari simpulan Said berikut: Inggris tahu Mesir, Mesir adalah apa yang diketahui Inggris, Inggris tahu Mesir itu tidak dapat memiliki pemerintahan sendiri, serta Inggris menegaskan hal itu dengan menduduki Mesir. Tidak berhenti, Said (1979: 40) juga menambahkan bahwa banyak kata yang digunakan Balfour dan Cromer untuk mendefinisikan orang Oriental[12]: tidak rasional, banal, kekanak-kanakan, dan “berbeda”; tapi sebaliknya, orang Eropa itu rasional, berbudi luhur, dewasa, dan “normal”. Sederhananya, orientalisme adalah usaha rasionalisasi pemerintahan kolonial dengan mengabaikan sejauh mana pemerintahan kolonial dibenarkan terlebih dahulu oleh orientalisme, ketimbang melihat fakta yang terjadi (Said, 1979: 39).
Dilihat dari pembagiannya, (Sari dkk., 2023: 153), (Winder, 1981: 615) Said membedakan orientalis ke dalam tiga bagian: 1) siapa saja yang menulis dan mengajarkan tentang Timur; 2) berkaitan dengan geografis, yang menimbulkan kolonialisme menciptakan stereotip ideologi Timur “the other”, dan yang lain Barat “the occident”; 3) menciptakan ilmu pengetahuan sebagai spesialis oriental dan lembaga korporasi untuk berurusan dengan Timur. Singkatnya, orientalisme adalah gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan memiliki otoritas atas Timur.
Dengan kata lain, definisi-definisi Timur dari perspektif Barat hanya untuk mengukuhkan dominasi Barat terhadap Timur, tanpa ada negosiasi di dalamnya. Oleh sebab itu, Timur sering dianggap rendah oleh Barat. Dari definisi dan contoh di depan, bisa ditarik tiga poin utama dalam orientalisme, yakni geografis, kekuasaan, dan pengetahuan.
Orientalisme juga memiliki ambisi geografis yang besar (Said, 1977: 163). Dari ambisi geografis tersebut, Barat ingin mendefinisikan atau memberi stereotip tertentu untuk disematkan kepada Timur dengan perspektif Barat, untuk menunjukkan kekuasaan Barat. Tentu, hal ini beriringan dengan pengetahuan bahwa Barat merasa dirinya lebih luhur, berbudaya, dan berpengetahuan untuk menilai Timur ketimbang Timur menilai dirinya sendiri.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua macam objek material, yakni: 1) secara holistik berupa kecenderungan penulis Indonesia Barat menulis tentang daerah Indonesia Timur, baik dari residensi KBN maupun tidak; 2) secara parsial berupa karya Indonesia Barat terhadap Indonesia Timur: Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut (2000), Dorothea Rosa Herliany dengan novel Isinga (2015), Dian Purnomo dengan novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam (2020). Kemudian, perpindahan dari sisi holistik ke parsial tersebut, peneliti menggunakan pendekatan post-postivisme. Pendekatan tersebut (Chilisa & Barbara Kawulich, 2012: 8) mengutamakan objektivitas dengan cara menggunakan berbagai ukuran sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang apa yang terjadi secara nyata. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menelan secara mentah-mentah suatu realitas benar adanya, dalam hal ini fenomena pemilihan tujuan penulis, namun juga perlu diverifikasi ulang dengan melihat asal penulis beserta kecenderungan penulis, tujuan residensi, hasil karya residensi, dan teori yang sejalan dengan itu.
Oleh sebab itu, untuk permasalahan yang telah dikemukakan di depan, dibutuhkan dua teori, yakni orientalisme Said dan sastra perjalanan Thompson. Asumsi dasar dari orientalisme adalah usaha Barat mendefinisikan Timur, sedangkan sastra perjalanan adalah penulis menulis tempat asing sesuai dengan perspektifnya. Selanjutnya, karena penelitian ini menggunakan kajian orientalisme dan sastra perjalanan, untuk memahami wacana yang berkelindan di dalamnya, maka metode yang digunakan adalah metode penelitian diskursif. Metode tersebut (Faruk, 2012: 68) berkutat pada menemukan hubungan antara karya sastra dengan berbagai wacana yang ada sebelumnya dan sesudahnya, termasuk di dalamnya karya-karya sastra terdahulu dan kemudian.
Tinjauan Pustaka
Seperti yang telah dikemukakan di bagian metode, penelitian ini menggunakan dua macam sisi objek material: 1) holistik, 2) parsial. Dari segi fenomena residensi penulis Indonesia, terutama fenomena penulis Indonesia Barat menulis tentang Indonesia Timur. penelitian semacam itu belum pernah diteliti sebelumnya. Meski demikian, penelitian ini tetap meninjau objek material dari sisi parsial, yakni Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut (2000), Dorothea Rosa Herliany dengan novel Isinga (2015), Dian Purnomo dengan novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam (2020).
Ketiga novel tersebut sudah banyak diteliti dengan menggunakan perspektif feminisme.
Novel Namaku Teweraut pernah diteliti sebelumnya. Hutabarat (2019) pernah meneliti dengan judul Nilai Sosial Budaya Dalam Novel Namaku Teweraut Karya Ani Sekarningsih Pendekatan Antropologi Sastra. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil sebagai berikut: 1) Nilai sosial aspek pengetahuan paling mendominasi, terdapat keberagaman flora, fauna yang ada di suku Asmat. Sifat tokoh utama memberikan pesa moral agar pembaca memiliki watak hidup sederhana, gigih, sabar, berpikir maju, praktis, berpendirian teguh, rajin, cinta lingkungan, cinta tanah air, waspada, rendah hati, peka, cerdas, dan keratif. 2) Nilai sosial aspek sistem organisasi memiliki hubungan, asosiasi, dan kesatuan hidup yang baik di suku Asmat dan dengan suku yang lain. Musyawarah dilakukan sebelum mengadakan upacara, mengambil keputusan, dan menetapkan aturan. 3) nilai sosial aspek religi tidak hanya animisme tetapi suku Asmat menyakini agama kristen. 4) nilai sosial aspek kesenian suku Asmat memiliki kreativitas yang tinggi dalam kesenian,yaitu: seni ukir, seni tari, seni, menyanyi, dan seni musik. Hal tersebut ditunjukkan pada setiap prosesi upacara yang dilakukan.
Penelitian Ningsih, dkk (2021) dengan judul Citra Perempuan Asmat Dalam Roman Namaku Teweraut Karya Ani Sekarningsih: Kajian Sastra Feminis. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil sebagai berikut: 1) bentuk ketidakadilan gender yang muncul dalam cerita adalah marginalisasi kaum perempuan akibat kungkungan adat dan budaya, stereotip, dan subordinasi terhadap kaum perempuan; 2) citra perempuan suku Asmat dalam Novel Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih digambarkan sebagai perempuan yang dijadikan objek seksual dan alat pemuas bagi laki-laki; perempuan penggoda; perempuan tertinggal; perempuan sebagai warga kelas dua; perempuan tidak bebas memeroleh pendidikan; perempuan penurut dan mudah ditakhlukkan; perempuan pengurus domestik semata; dan perempuan tersubordinasi.
Penelitian Rahman (2022) dengan judul Perbandingan dan Representasi Feminisme Eksistensialis dalam Novel Berlatar Papua Berjudul Namaku Teweraut dan Tanah Tabu. Penelitian tersebut membandingkan kedua objek material tersebut. Namaku Teweraut merepresentasikan suku Asmat yang masih menganut sistem poligami, perjodohan, perempuan tidak boleh mengambil keputusan atau memilih jalan hidupnya dan mengabaikan pentingnya pendidikan. Adapun novel Tanah Tabu mengisahkan suku Dani yang mengesampingkan pendidikan dan mengutamakan pernikahan karena perempuan tidak perlu belajar cukup mengurus keluarga dan patuh pada suami. Dalam kedua novel ini dijelaskan bahwa tokoh wanita tidak bisa mengenyam pendidikan secara bebas karena terikat dengan sistem patriarki.
Novel Isinga sudah pernah diteliti sebelumnya. Beberapa di antaranya: Irmawati (2017) pernah meneliti objek material yang sama dengan judul Mitos Masyarakat Papua dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany. Pada penelitian tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut: (1) mitos dua bersaudara, (2) mitos tentang perempuan, (3) mitos babi purba, (4) mitos lemak babi, (5) mitos tentang roh, (6) mitos buah larangan, (7) mitos bayi kembar, (8) mitos tentang asap, (9), mitos tentang orang sakit, (10) mitos darah persalinan. Mitos-mitos tersebut berhubungan dengan nilai-nilai etnografis yang dianut oleh masyarakat Papua.
Berikutnya, Wardiningsih (2017) dengan penelitian berjudul Konstruksi Gender Dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany. Pada penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa berbagai konstruksi gender dapat dilihat dari berbagai aspek dalam masyarakat maupun keluarga. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konstruksi gender yakni mitos, budaya patriarkis, dan sistem kapitalis melingkari kehidupan masyarakat Papua.
Kemudian, Maelani dan Fauziyah (2021) dengan penelitian berjudul Analisis Unsur Intrinsik dan Kebutuhan Primer Masyarakat Papua dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany. Pada penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa kebutuhan primer, sekunder, dan tersier dalam Isinga melebur di dalam kebudayaan yang tumbuh di sana.
Terakhir, Batubara, dkk (2022) dengan penelitian berjudul Feminisme dalam Novel Isinga Papua Karya Dorothea Rosa Herliany. Pada penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa ditemukan feminisme radikal dari segi penindasan antar jenis kelamin, dari segi kasta, etnis, serta sistem keagamaan. Untuk menguatkan temuan terkait feminisme radikal, Batubara, dkk melihat citra perempuan, baik secara fisik dan psikis, serta citra perempuan dalam ruang domestik dan publik.
Novel PyMkBH sudah banyak diteliti, terutama menggunakan berbagai perspektif feminisme. Darlis, dkk (2021) melihat adanya ketidakadilan gender berupa marginalisasi, subordinasi, pelabelan, kekerasan, dan beban kerja. Sadrinah, dkk (2022) mengurai tiga konflik batin, yaitu rasa tidak berdaya, rasa perlawanan, dan rasa terisolasi. Wafik & Solihati (2022) menemukan bentuk feminisme radikal, yaitu: 1) bentuk diskriminasi sosial yang dilakukan laki-laki terhadap kaum perempuan, 2) bentuk pelecehan seksual, 3) kekerasan seksual, 4) eksploitasi seksual. Alkhaira (2023) menunjukkan adanya subordinasi perempuan dalam cerita karena batasan adat dan budaya. Kemudian, satu penelitian yang melihat dari segi budaya adalah penelitian Purnama dkk (2023), yakni melihat nilai budaya dengan rincian: 1) nilai hakikat dari hidup manusia, 2) nilai hakikat karya manusia, 3) nilai hakikat manusia dengan ruang waktu, 4) nilai hakikat manusia dengan alam, 5) nilai hakikat hubungan manusia dengan sesama.
Bisa dikatakan bahwa novel Namaku Teweraut, Isinga, PyMkBH belum pernah diteliti menggunakan perspektif orientalisme Said dan sastra perjalanan Thompson, sekaligus untuk melihat representasi karya tersebut terhadap Indonesia Timur.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Pandangan Barat Terhadap Timur
Di bagian ini, peneliti akan melihat bagaimana kecenderungan penulis Indonesia Wilayah Barat terhadap Indonesia Wilayah Timur dengan perspektif orientalisme Said. Selain menggunakan data dari karya residensi penulis, peneliti juga menggunakan karya yang sesuai dengan kriteria yang dimaksudkan.
Jika dilihat secara luas, tidak hanya terbatas pada karya residensi, tidak ditemukan karya dari penulis Indonesia Wilayah Timur menulis tentang Indonesia Wilayah Barat. Sebaliknya, ditemukan ada lima karya, dua di antaranya adalah karya penulis residensi dari program KBN. Berikut, rinciannya:
- Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut (2000)
- Dorothea Rosa Herliany dengan novel Isinga (2015)
- Dian Purnomo dengan novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam (2020)
Sebagai gambaran, Namaku Teweraut dan Isinga sama-sama berlatar di Papua. Novel PyMkBH berlatar di NTT yang terletak di Sumba.
Selanjutnya, Said membagi menjadi tiga konsep yang kemudian dielaborasikan pada kelima karya tersebut.
Pertama, pihak yang menulis Timur. Dari latar belakang penulis, semua penulis bukan berasal dari Indonesia Timur, melainkan dari Indonesia Barat. Rinciannya sebagai berikut: Sekarningsih dari Tasikmalaya, Herliany dari Magelang, dan Purnomo dari Jakarta. Bisa dikatakan bahwa para penulis tersebut berasal dari Indonesia Barat menulis tentang Timur.
Kedua, menciptakan stereotip ideologi Timur “the other” dan Barat “the occident”. Novel Namaku Teweraut dan Isinga sama-sama berlatar Papua. Perbedaannya pada menciptakan stereotip Barat. Pada Namaku Teweraut, Mama Rin berasal dari Jakarta sebagai representasi Barat, sedangkan Teweraut berasal dari Asmat sebagai representasi Timur. Tak hanya lewat tokoh, stereotip kedua wilayah tersebut juga ditampilkan berbeda satu dengan lain, seperti oposisi biner, antara yang tertinggal dan yang maju. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut ini.
Sudah tersiar luas di kecamatan, kabar Mama Rin akan turut hadir dalam upacara akbar ini. … Bagaimanapun, kabar itu merupakan rangsangan gairahku. Perjumpaan dengan Mama Rin merupakan kekayaan. Ada saja topik percakapannya yang tidak sekaligus dapat kucerna, namun merangsang rasa penasaran. (Sekarningsih, 2000: 48)
Wilayah Asmat tidak ubahnya bagai gadis puber yang malu-malu tampil di tengah pesta. Rona wajah perawannya memancarkan getar-getar daya pikat. Sentimentil namun menyembunyikan kenakalan yang menantang bagi pembangunan. (Sekarningsih, 2000: 6)
Keseluruhannya menimbulkan decak kagum. Jakarta bukan tanah rawa. Tetapi kota ini memiliki jembatan-jembatan yang kukuh lagi megah. (Sekarningsih, 2000: 92–93)
Mengapa waktu itu aku tak mencegah Akatpits pergi bekerja di Merauke? Mengapa aku digariskan menjadi orang pilihan, sehingga terlalu banyak tahu kehidupan orang Jakarta, Eropa, dan Amerika? … Ingin sekali punya uang sebanyak miliki bapak-bapak di Jakarta itu. (Sekarningsih, 2000: 186)
Sedangkan, pada Isinga, stereotip tersebut tampak pada dua perempuan kembar: Irewa dan Jingi. Irewa yang berasal dari Aitubu harus tinggal di Desa Hobone. Irewa mendapatkan perlakuan semena-mena dari Malom, suaminya. Sedangkan, saudara kembarnya, Jingi, mendapatkan perlakuan yang berbeda karena dia berhasil diasingkan sejak bayi, untuk kemudian melanjutkan sekolah di luar negeri. Bisa dikatakan bahwa Irewa adalah representasi Timur, sedangkan Jingi adalah representasi Barat. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut ini.
Begitulah hari-hari Irewa. Seperti sudah ditetapkan bahwa ia harus terus-menerus bekerja. juga harus terus-menerus beranak. Setelah anaknya yang kedua itu, Irewa hamil lagi. Tapi karena pekerjaan yang berat dan makan kurang, kembali Irewa keguguran. Tak lama, Malom mengajak bersetubuh lagi. Lalu Irewa hamil lagi. … Jadi dalam waktu singkat Irewa sudah punya tiga orang anak.…Ia harus terus-menerus mau menerima ajakan Malom bersetubuh. Malom ingin anak laki-laki sebanyak-banyaknya.
…Dengan anak tiga orang yang semuanya masih kecil-kecil, Irewa merasa hidupnya semakin berat. Apalagi sekarang Malom sudah terbiasa memukul Irewa. (Herliany, 2015: 73)
Mereka juga percaya, bayi kembar itu terjadi karena seorang suami melakukan hubungan badan dengan perempuan lain waktu istrinya sedang hamil. Itu larangan yang tidak boleh dilanggar. Jadi kalau ada bayi kembar, bapak si bayi juga akan merasa malu.
…
Bayi yang lebih lemahlah yang harus dibuang. Bayi yang kemudian bernama Irewa itu dulu tampak lebih kuat. Maka bayi satunya yang kemudian bernama Jingi, ialah yang dibuang. Kini kondisinya berbalik. Jingi yang tampak lebih kuat. Bukan karena Irewa sedang sakit. Tapi secara keseluruhan, keduanya memang kelihatan berbeda. Irewa tampak lebih tua.… Sedang Jingi, sejak bayi mendapat susu dan makanan yang baik dari Suster Karolin dan selanjutnya dari Suster Wawuntu. Irewa hanya mendapat susu dari payudara Mama Kame. (Herliany, 2015: 88–89)
Jingi sudah tiba di Belanda. Mama Karolin tinggal di Maasticht, sebuah kota kecil yang berbatasan dengan negeri Jerman dan Belgia. Jingi mantap memperdalam ilmu kedokteran karena dari dosennya di Manado dan bacaan sejarah, ia tahu banyak tokoh Indonesia adalah lulusan sekolah kedokteran Belanda. …ia memang sudah sejak kecil menyukai ilmu kedokteran dan ia ingin terus-menerus mempelajari ilmu ini. (Herliany, 2015: 191)
Sedikit mirip dengan dua novel berlatar Papua tersebut, novel PyMkBH juga tampak jelas stereotipnya. Perbedaannya, Magi sebagai tokoh menjadi sekat perlintasan antara representasi Timur dan Barat. Kawin tangkap yang masih menjadi tradisi di Sumba dialami oleh Magi namun kemudian dia membandingkan Yogyakarta sebagai tempat yang lebih maju, tempat kuliahnya dulu. Berikut kutipannya.
Terlebih lagi ini adalah Wulla Poddu[13] pertamanya setelah empat tahun kuliah di Jawa. (Purnomo, 2020: 61)
Sebagai anak dari petani di kampung adat, yang bukan orang kaya raya di Sumba, Magi beruntung pernah punya pengalaman bepergian dengan pesawat. Pertama ketika dia berangkat kuliah ke Yogyakarta. Di setiap kepergiannya dengan pesawat, Magi selalu merasa bahagia pulaunya menjauh dan lama-lama hilang dari pandangan. Ketika Pulau Sumba sudah tidak tampak lagi dari kursinya di pesawat, Magi akan menyandarkan tubuh ke belakang, sambil di dalam hatinya berkata, aku akan kembali dan membuat tanahku menjadi lebih baik. (Purnomo, 2020: 137–138)
Ketiga, menciptakan ilmu pengetahuan sebagai spesialis oriental. Dalam artian, penulis-penulis tersebut menunjukkan kuasa atas ilmu pengetahuan terhadap Timur sehingga bisa menulis tentang Timur, atau bahkan memberi suatu penilaian.
Ketiga novel berikut: Namaku Teweraut, Isinga, dan PyMkBH berisi pengamatan secara langsung latar tempat di dalam novel sehingga mereka, para penulis, bisa menggambarkan dengan jelas dan detail, baik deskripsi alam, tradisi, maupun kebiasaan masyarakat setempat. Permasalahannya adalah mereka kerap memberikan suatu penilaian, membandingkan daerah tersebut dengan apa-yang-dianggap-Barat oleh mereka.
Bisa dikatakan bahwa dengan berbekal bahan karya yang didapatkan oleh penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung, mereka memiliki kuasa untuk menulis karya-karya tersebut yang tentu saja memberikan representasi tertentu terhadap realitas wilayah sesungguhnya. Dari beberapa temuan tersebut, bisa disimpulkan bahwa karya sastra yang ditulis oleh orang Indonesia Barat dengan bahan dari Indonesia Timur tak bisa terlepas gambaran imajiner Indonesia Timur oleh penulis Indonesia Barat sehingga mereka memunculkan strereotip Barat dan Timur sekaligus semakin memperkuat stereotip tersebut.
Representasi Penulis Perempuan Terhadap Indonesia Timur
Di bagian ini, untuk melihat kecenderungan penulis perempuan dalam menulis sastra perjalanan. Namun, peneliti hanya meneliti novel PyMkBH sebagai contoh karena kedua karya yang lain memiliki kecenderungan yang sama.
Seperti yang diungkapkan Thompson di landasan teori, ada perbedaan secara umum pada penulis perempuan dan laki-laki. Meskipun novel PyMkBH tidak menggunakan sudut pandang orang pertama, ideologi Purnomo sebagai perempuan tetap bisa terlihat pada suara narator yang bocor. Dalam artian, ada keinginan berkomentar pada suatu narasi, baik suara tokoh maupun di luar tokoh. Ini disebut dengan naratif metadigetik tipe fungsi eksplanatif (Genette, 1980: 132), (Rimmon-Kenan, 2002: 92) yakni berurusan dengan narasi yang berusaha menjawab pertanyaan yang terkait peristiwa yang diceritakan, tanpa terhubung dengan peristiwa tersebut. Berikut kutipannya.
Dia tahu, di dalam kepercayaan adat Sumba memang dikenal adanya kawin culik, yang sudah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka. Kawin culik dulu menjadi salah satu upaya untuk menyingkat urusan adat agar tidak memakan biaya serta waktu terlalu lama. Pada umumnya keluarga kedua calon mempelai telah memiliki perjanjian jika akan menempuh cara ini. Ada yang mengatakan bahwa kawin culik juga bisa dijadikan sebagai salah satu solusi jika keluarga laki-laki gagal mencapai kesepatan adat dengan keluarga perempuan. (Purnomo, 2020: 19)
Untuk Dangu yang pernah tinggal di luar Sumba ketika kuliah, merasa bahwa terlepas direncanakan atau tidak, ini adalah kejahatan. Di salah satu mata kuliah yang dipelajarinya tentang budaya, dia diajarkan bahwa ada budaya yang memang baik untuk dipertahankan, tetapi ada banyak sekali budaya di Indonesia yang bahkan harus dihapuskan karena merugikan pihak-pihak tertentu. (Purnomo, 2020: 19)
Tidak hanya berkomentar persoalan adat, Purnomo juga berkomentar bagaimana seharusnya perempuan diposisikan. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.
Ada banyak orang yang menikah secara adat tetapi tidak mencatatkan perkawinan di catatan sipil. Mungkin secara adat mereka sudah resmi bercerai, tetap semudah itukah? Lalu berapa banyak perempuan yang sudah, dan akan diperlakukan seperti itu? dikawini, dijadikan pabrik anak, dieksploitasi, disakiti, lalu dicampakkan.
Magi terpuruk, tidak bedanya dengan seonggok tahi sapi di dalam kandang. (Purnomo, 2020: 59)
Dia ingin ilmu yang didapatkannya di bangku kuliah berguna. Dia ingin menjadi perempuan mandiri, lalu kalau harus menikah juga dia maunya dengan laki-laki yang tidak mengekangnya. Dia tetap mau bekerja, berkarya. Dia tidak bisa tinggal diam saja dan menghabiskan waktu untuk mengurus rumah seperti Tara. Dia tidak bisa membayangkan masa depannya sendiri seperti itu. Bahkan seandainya suaminya kaya raya sekalipun, dia tetap akan bekerja. (Purnomo, 2020: 242)
Dia ingat betul pesan hampir semua orang dari kampungnya, di rumah orang bangun pagi, bantu semua pekerjaan selesai lebih cepat, kerjakan sebelum orang suruh ko lakukan, jangan malas, layani suami deng baik, dan petuah yang harus menjadi rentetan dari komprominya terhadap keinginan sang ayah. (Purnomo, 2020: 278)
Ternyata selain tahanan, perempuan di mata suaminya juga seperti pelayan. (Purnomo, 2020: 286)
Magi membangunkan seluruh dunia dengan menjadikan dirinya sebagai simbol perlawanan. (Purnomo, 2020: 302)
Dengan memberi penilaian terhadap fenomena perempuan di Sumba, Purnomo sebenarnya melihat ada ketimpangan posisi perempuan di Sumba dengan tempat domisilinya. Selain itu, Purnomo menempatkan dirinya setara dengan perempuan Sumba dari sisi gender, meskipun, bisa dibilang, Purnomo sulit ditempatkan pada posisi yang setara. Hal tersebut dikarenakan Purnomo hanya sebatas pengunjung, sebagai penulis residensi, dan tempatnya berasal, yakni dari Jakarta. Hal tersebut memang sulit dihindari oleh penulis perempuan karena sisi sentimentilnya terhadap gender dan lingkungan yang ditempati. Di luar itu, Purnomo berhasil mengatasi kendala di lapangan sehingga dia sanggup menuliskan novel PyMkBH untuk mengabarkan kepada pembaca mengenai fenomena yang melanda perempuan, yakni kawin tangkap, yang tengah terjadi di Sumba.
Bisa dikatakan, Purnomo dalam menarasikan cerita seringkali menyisipkan suara narator, yakni diri pengarang, sehingga ada penilaian terhadap budaya baru, yakni di Sumba, sekaligus membandingkan dengan apa yang ada di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa penulis perempuan merasa dirinya setara dengan perempuan di tempat barunya, meskipun ada ketidaksetaraan posisi, baik sebagai pendatang sementara, segi finansial, dan intelektual.
KESIMPULAN
Pada penelitian yang berfokus pada penulis Indonesia Barat yang menulis Indonesia Timur, ada dua hasil yang didapatkan, yakni:
- Ada stereotip “Barat” dan “Timur” pada semua karya yang dibahas. Hal ini menunjukkan bahwa penulis Indonesia Barat memiliki kuasa dalam mendefinisikan Timur atau menciptakan ilmu pengetahuan terhadap Timur.
- Penulis perempuan cenderung ada suara narator yang sifatnya membandingkan daerah asal dengan tempat asing. Selain itu, penulis juga merasa dirinya setara dengan wanita di lokasi.
Daftar Pustaka
Akmal, R. (2014). TRAVEL WRITING: Glorifikasi Atas Imajinasi. Yogyakarta. Diambil dari https://docplayer.info/63427530-Travel-writing-glorifkasiatas-imajinasi.html
Alkhaira, N. (2023). Subordinasi Perempuan Dalam Novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo. Bahtera: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 22(1, Januari), 47–55. Diambil dari https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/bahtera/article/download/31201/14296/
Batubara, P. A., Simangunsong, F., Panggabean, S., & … (2022). Analisis Feminisme Radikal dalam Novel Isinga Roman Papua Karya Dorothea Rosa Herliany. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 15558–15572. Diambil dari https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/4853
Chilisa, B., & Barbara Kawulich. (2012). Selecting a research approach, methodology and methods. Doing Social Research: A global context, 5(January 2012), 51–61.
Darlis, F. J., Wahyusari, A., & Indrayatti, W. (2021). Feminisme Dalam Novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo. Jermal: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 2(1), 176–183. Diambil dari https://ojs.unm.ac.id/human/article/view/37082/17173
Faruk. (2012). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Genette, G. (1980). Narrative Discourse: An Essay in Method. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Herliany, D. R. (2015). Isinga: Roman Papua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hutabarat, I., Rafli, Z., & Rohman, S. (2019). Nilai Sosial Budaya dalam Novel Namaku Teweraut Karya Ani Sekarningsih Pendekatan Antropologi Sastra. JP-BSI (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 4(2), 59.
Irmawati. (2017). Mitos Masyarakat Papua Dalam Novel Isinga Karya Dorothae Rosa Herliany. Bastra, 1(4), 1–12.
Julian, R. (2022). Korpus Ovarium. Yogyakarta: Julang.
Maelani, L., & Fauziyah, N. (2021). Analisis Unsur Intrinsik dan Kebutuhan Primer Masyarakat Papua dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany. In Prosiding Samasta (hal. 464–477). Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Nasution, A. A. (2015). Gambaran Diri Andrea Hirata dalam Novel Edensor: Konsep Travel Writing Carl Thompson. Poetika, III(1), 22–31.
Ningsih, R. Y., Zuriyati, & Attas, S. G. (2021). Citra Perempuan Asmat dalam Roman Namaku Teweraut Karya Ani Sekarningsih: Kajian Sastra Feminis. BAHTERA: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 20, 196–209.
Purnama, Y., Anam, A. K., & Mulyani, S. (2023). Nilai Budaya Dalam Novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo. Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia, 11(1), 137–146. Diambil dari http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jpbsi/article/view/27148
Purnomo, D. (2020). Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Jakarta: Gramedia.
Rahman, F. (2022). Perbandingan dan Representasi Feminisme Eksistensialis dalam Novel Berlatar Papua Berjudul Namaku Teweraut dan Tanah Tabu. Referen, 1(1), 102–113.
Rimmon-Kenan, S. (2002). Narrative Fictions (2nd ed.). London & New York: Routledge.
Sadrinah, Juanda, & Saguni, S. S. (2022). Problem Batin Perempuan dalam Novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo Perspektif Psikologi Feminis. HUMAN: South Asean Journal of Social Studies, 2(2), 177–194. Diambil dari https://ojs.unm.ac.id/human/article/view/37082/17173
Said, E. W. (1977). Orientalism. The Georgia Review, 31(1), 162–206.
Said, E. W. (1979). Orientalism. New York: Random House.
Sari, Y., Pujawati, & Miftahul Ulum Bahtiar. (2023). Orientalisme: Pemikiran dan Teori Postkolonial Edward Said terhadap Dunia Timur dan Islam. In Gunung Djati Conference Series (Vol. 23, hal. 145–164). Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
Sekarningsih, A. (2000). Namaku Teweraut: Sebuah Roman Antropologi dari Rimba-rawa Asmat, Papua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Thompson, C. (2011). Travel Writing. London & New York: Routledge.
Wafik, F., & Solihati, N. (2022). Feminisme Radikal Dalam Novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo. Asas: Jurnal Sastra, 11(2), 66–78. Diambil dari https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/ajs/article/view/37153/18992
Wardiningsih, V. S. W. (2017). Konstruksi Gender dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany. Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis, 11(1), 37–52. Diambil dari https://www.e-journal.usd.ac.id/index.php/sintesis/article/view/930
Winder, B. (1981). Review: Orientalisme: Review Article. Middle East Journal, 35(4), 615–619. Diambil dari https://www.jstor.org/stable/4326308
[1] Program residensi tersebut dibuka pada Juli 2019, diumumkan Agustus 2019, berlangsung mulai Oktober hingga Desember 2019 sekaligus ditutup pada di akhir tahun. Dana untuk program tersebut dialihkan guna keikutsertaan Indonesia mengikuti Frankfurt Book Fair di Jerman pada tahun-tahun selanjutnya, meskipun Indonesia di tahun-tahun sebelumnya sudah turut ikut serta tanpa ada kendala.
[2] Semula, laman untuk program Residensi Penulis Indonesia adalah http://islandsofimagination.id/, namun sejak program ditutup, laman tidak lagi bisa diakses. Oleh sebab itu, peneliti mencari lewat pencarian Google, didapatkan data sebagai berikut: peserta RPI 2016 bisa diakses pada laman https://hot.detik.com/art/d-3306858/10-penulis-ikuti-program-residensi-2016-ke-berbagai-negara, peserta RPI 2017 pada laman https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/17/06/13/orhuiv-21-penulis-terpilih-program-residensi-ke-luar-negeri, peserta RPI 2018 pada laman https://portalsatu.com/ini-peserta-beasiswa-unggulan-kemendikbud-residensi-penulis-indonesia-2018/, dan peserta RPI 2019 pada laman https://imagination1527.rssing.com/chan-67163594/all_p13.html.
[3] Ada seorang penulis, Norman Erikson Pasaribu, yang pernah mendapatkan dua kali kesempatan residensi dengan dua tujuan berbeda: 2016 ke USA dan 2017 ke Vietnam. Meskipun begitu, peneliti tetap memasukkan keduanya sebagai individu yang berbeda agar tidak mengacaukan data yang telah ditemukan.
[4] Peneliti tidak menggunakan istilah waktu karena istilah wilayah lebih representatif. Dengan menggunakan istilah wilayah, maka WITA tidak digunakan agar tidak ada bias antara Barat dan Timur di artikel ini. Oleh sebab itu, tujuan residensi yang berada di sebelah timur wilayah barat (Sumatera dan Jawa), akan dianggap sebagai WIT. Pertimbangan lain adalah Makassar yang secara zona waktu ikut WITA, namun secara geo-politis dan de facto, Makassar adalah ibukota Indonesia Timur. Dari segi transportasi jalur udara, Makassar sering menjadi kota transit saat hendak menuju ke wilayah lebih timur, sebut saja Maluku, Papua, dan sekitarnya. Kemudian, MIWF (Makassar International Writers Festival) turut menjaring penulis Emerging Writers dari Indonesia Timur. MIWF sendiri lewat Rumata ArtSpace berani menyatakan bahwa dirinya adalah festival penulis internasional pertama dan satu-satunya yang ada di Indonesia Timur. Baca pada laman https://rumata.or.id/id/2023/05/14/miwf-2023-hadirkan-faith-sebagai-semangat-kolektif/ .
[5] Novel ini mendapat nominasi naskah yang menarik perhatian juri pada sayembara novel DKJ 2019.
[6] Dengan asumsi sebelumnya bahwa Makassar adalah Timur, maka Bali juga bisa dianggap demikian.
[7] Buku puisi ini meraih juara kedua pada sayembara manuskrip puisi DKJ 2021.
[8] Meraih penghargaan Kusala kategori prosa, 2015.
[9] Thompson menggunakan istilah travel writing, sedangkan Fussel menyebutnya dengan travel book, meskipun keduanya, antara travel writing dan travel book, sama-sama merujuk pada tulisan fiktif perihal perjalanan, yang berjibaku antara fakta dan fiksi. Peneliti memilih menggunakan istilah sastra perjalanan di sepanjang artikel ini.
[10] Berasal dari gabungan kata retro dan intropeksi, yang berarti ada evaluasi terhadap masa lalu yang dialami oleh penulis sehingga karya sastra yang ditampilkan tidak serta-merta merepresentasikan masa lalu karena ada campur tangan penulis dalam menggubahnya.
[11] Pada praktiknya, sastra perjalanan mengalami perkembangan penulisan, yang bisa menggunakan tokoh lain sebagai penggerak cerita serta sebagai tokoh yang berkomentar terhadap tempat baru.
[12] Oriental yang dimaksud Said di sini adalah Mesir, India, dan negara-negara Islam di Timur Tengah.
[13] Ritual di adat Marapu di mana selama sebulan penuh orang harus prihatin, tidak boleh mengadakan pesta perkawinan, kubur batu, membangun rumah, atau menanam kebun. Wulla Poddu sering kali diterjemahkan bebas sebagai bulan hitam, meskipun maknanya sebetulnya adalah bulan yang suci (Purnomo, 2020: 39). Di saat Wulla Poddu itu, Magi diculik oleh Leba Ali untuk menjadi istrinya.
Tinggalkan Balasan