Serangan Sebelum Dhuhur

PS. Cerpen ini ditulis tahun 2012 guna mengikuti lomba cerpen yang diadakan oleh UKKI Unesa tahun 2012 dan mendapatkan juara 3.

Sejumlah warung makan di pinggir jalan digegerkan kedatangan sekelompok orang berbaju putih lengkap dengan sorbannya. Pemilik warung pun tak menyangka kedatangan mereka yang tiba-tiba. Mereka datang sebelum adzan Dhuhur dikumandangkan, sekitar pukul sebelas. Beberapa ada yang membawa sebilah kayu. Tidak ada senjata tajam dan senjata api. Kayu tersebut digunakan untuk memukul-mukul dinding separuh triplek warung nasi agar segera tutup. Paling tidak, si pemilik, jika tidak ada, si penjaga, keluar untuk menemui mereka. Atau untuk mengusir pengunjung yang sedang berada di dalam. Beberapa lagi ada yang hanya menggenggam tangan sembari meneriakkan takbir, Allahu Akbar, bertalu-talu.

Pengunjung warung keluar membludak. Mereka takut ikut menjadi korban keganasan kelompok bersorban. Piring-piring, walaupun mereka masih makan beberapa sendok dari santapannya, mereka tinggalkan begitu saja, tergeletak bersama sendok dan garpunya. Gelasnya juga masih penuh karena belum sempat diminum.  Ada yang sempat meminumnya sedikit, hanya untuk membasahi tenggorokan. Namun, masih tertinggal satu orang, menikmati makanannya di warung paling pojok dari barisan warung di pinggir jalan.

Salah seorang pengunjung, Mundir, ditangkap oleh kelompok bersorban. Selain karena dia terlambat keluar dari warung, hanya dia yang masih sempat-sempatnya menghabiskan santapan yang dia pesan tanpa sisa. Kala makan, Mundir sudah tidak ingat sekitarnya, begitu lahap sampai tidak ada sebutir nasi yang tertinggal di piring, terlebih makanan itu makanan kesukaannya, pecel.

Mundir hanya sedikit memberontak saat dia diseret paksa oleh kelompok bersorban itu. Pemilik warung pun turut keluar. Sarmin hendak menarik uang seporsi nasi pecel yang belum dibayar oleh Mundir. Salah satu dari kelompok bersorban, mungkin saking marahnya kepada mereka, memukul perut Mundir. Mundir pun memuntahkan nasi pecel dan segelas teh hangat.

“Dia belum membayar makananku!” bentak Sarmin.

“Jangan salahkan kami! Dia yang salah! Makan siang-siang pada bulan Ramadhan!”

“Tapi dia belum membayarnya!”

“Itu juga salahmu, membuka warung siang-siang! Tak menghormati orang puasa!”

“Tapi dia belum bayar!”

Sarmin terus memberontak, meminta haknya. Mundir tak berkutik. Dia tak sanggup mengambil uangnya di dompet. Kedua tangannya disilangkan ke punggung oleh seorang dari kelompok bersorban. Tiba-tiba, ada seorang lagi maju dengan postur tinggi kurus dan berjenggot tipis, mengacungkan kayu, memukulkan ke kepala Mundir. Mundir terhuyung, hampir jatuh. Seorang di belakangnya menahannya agar tidak jatuh. Kembali, seorang lagi maju, menendang perut Mundir dengan sekali hentak, begitu keras seraya meneriakkan takbir, Allahu Akbar.

“Tutup sekarang warungmu atau nasibmu juga seperti dia!” ancam pemimpin dari kelompok bersorban, Asrul.

“Bayar dulu makanannya!” balas Sarmin.

Tanpa basa-basi, seorang bertubuh besar dengan jenggot lebat, menyerang Sarmin dari belakang. Dia menghantam punggung Sarmin, masih dengan kayu. Sarmin hendak membalas, tapi didahului pukulan seorang lagi ­− bertubuh kurus, berjenggot mirip kambing − di  kepala bagian belakangnya.

***

Tetangga warung Sarmin mengintip dari tirainya. Dia kaget melihat Sarmin dikeroyok oleh kelompok bersorban. Istrinya, Santi, mendekati suaminya yang masih mengintip.

“Apa yang mereka lakukan, Mas?”

“Mereka menggebuki Sarmin, kangmasmu.”

“Yang benar, Mas?”

“Iya, lihat saja.” Suaminya, Karjo, minggir memberi tempat Santi agar bisa turut mengintip.

“Kita harus keluar, Mas.”

“Mas gak berani, Dek. Jumlahnya terlalu banyak.”

“Apa Mas tega Sarmin dipukuli seperti itu? Dia kangmas saya, Mas.”

Karjo diam saja. Nyalinya yang ciut mengalahkan niatnya untuk membela mas iparnya. Istrinya membuka pintu warung, nyelonong pergi. Karjo mau mencegahnya tapi terlambat. Terpaksa Karjo membututi istrinya, khawatir terjadi apa-apa dengan istrinya.

“Lepaskan kangmas saya,” Teriak Santi “atau saya telanjang sekarang!” Santi berlari terbirit-birit, dasternya dijinjing selutut,  menghampiri Sarmin di tengah-tengah kelompok bersorban. Mata Santi berkaca-kaca namun tidak begitu kentara di tengah hari yang panas.

Mundir yang lunglai, Sarmin yang lemas, dan kelompok bersorban bersamaan memandang Santi. Teriakannya mengagetkan, juga menghentikan tindakan mereka untuk sejenak.

Afwan, saya tidak ingin Anda telanjang.” Kata Asrul, menenangkan Santi.

“Tapi, tolong, lepaskan kangmas saya!”

“Yang mana?”

“Yang itu!” Santi menunjuk ke Sarmin.

“Salah sendiri jualan siang hari di bulan puasa.” Celetuk seorang yang berjenggot mirip kambing.

“Lalu, uang untuk anak-anaknya, untuk istrinya, untuk buka setiap hari, sahur? Hah! Dapat dari mana?”

“Ya… buka sore hari, setelah Asar.” Celetuknya lagi.

“Tak usah banyak omong. Cepat lepaskan kangmas saya atau saya telanjang!”

“Puasa-puasa mau telanjang. Apalagi di tempat umum seperti ini. Bisa saja mbak ini. Dosanya tambah banyak loh. Apa mbak ini gak puasa?” Kembali si berjenggot kambing nyletuk. Kelompok bersorban pun tertawa terbahak-bahak. Mundir dan Sarmin diam saja, membatin.

“Sudahlah Dek, jangan diladeni.” Tanpa sepengetahuan Santi, Karjo sudah berada di belakang, menepuk-nepuk pundak Santi, menenangkan.

“Tapi, Mereka benar-benar sudah keterlaluan, Mas.”

“Iya, benar-benar keterlaluan! Padahal mereka enggak tahu aku ini puasa atau enggak. Aku kan bukan orang …” Mundir belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sudah ditampar seorang dari samping.

“Sudah, kau tak usah banyak bicara!” kata seorang berpostur kurus.

“Jika mau kalian aku telanjang, aku akan telanjang sekarang!” Santi mulai menanggalkan dasternya. Karjo memegang tangan Santi, berusaha mencegahnya. Santi memberontak. Sikunya menyikut dada dan perut Karjo.

“Jika kau telanjang, kau saja dengan orang gila itu!” Karjo menunjuk ke seberang jalan, tepat ke seorang gila.

“Tapi dia tidak gila!” sahut Santi. Memang, orang gila di seberang jalan itu tidak telanjang. Dia mengenakan baju lengan panjang kekuningan – semula berwarna putih namun karena seringnya dipakai dan tidak pernah dicuci, maka warnanya menjadi kuning – lengkap dengan kopiah yang juga berwarna pudar, hitam keunguan. Di pundaknya, disampirkan sajadah lusuh. Ka’bah di sana pun sudah hampir hilang. Jari-jarinya sibuk memutar-mutar tasbih. Mulutnya komat-kamit mengucap dzikir.

Orang gila itu berjalan menyeberang jalan dengan santainya. Masih memutar-mutar tasbih, dia menghampiri sekumpulan orang di depan warung nasi. Tinggal lima langkah bisa dekat dengan mereka, dia melihat ke arah matahari sejenak, lalu menggelar sajadah. Dia menunaikan sholat.

Mata mereka masih tertuju ke orang gila itu. Mulut mereka hampir melongo. Sekadar menghilangkan keheningan, si jenggot kambing berkata, “Dia kan orang gila. Sholatnya jelas tidak diterima. Hahaha.” Tak ada yang menanggapi. Rekan-rekannya tidak ada yang tertawa. Begitu juga dengan Mundir, Sarmin, Santi, dan Karjo. Mereka diam dan tenggelam untuk mengamati. Saking terhenyaknya, mereka lupa bahwa sudah memasuki waktu sholat Dhuhur.

Seusai menunaikan sholat, orang gila itu berjalan santai menghampiri mereka. Dia berjalan membelah di tengah-tengah mereka. Dengan pelan tapi lugas, dia berkata,”Agamaku agamamu. Tuhanku Tuhanmu.” Lalu, dia berbelok, masuk ke warung Sarmin.

“Mana yang punya warung? Saya pesan pecel.”

Sarmin beranjak masuk ke dalam warungnya.

“Bukankah barusan Anda sholat?” kata Asrul.

“Puasa hanya untuk yang beriman. ” Balas orang gila.

Dia tersenyum nyengir, lalu tertawa terbahak-bahak. Mundir nyelonong masuk warung, membayar nasi pecel yang tadi disantap habis.

Sebelum pergi, Mundir berkata lirih, hampir seperti bisikan, kepada Sarmin,”Maklum, orang gila. Berbuat sesuka hatinya.”

Lidah Wetan, Oktober 2012


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *