Si Kotak

PS 1. Cerpen ini bisa dikatakan cerpen yang salah masuk. Pada awalnya, cerpen ini ditulis untuk mengikuti lomba cerpen FSS 2010. Ditolak tapi tidak begitu menyesal karena cerpen saya mungkin terlihat amatiran. Iseng-iseng, cerpen saya kirim ke koran Sindo. Ternyata dimuat. Saya tidak tahu mengapa bisa terjadi semacam ini. (Catatan tersebut mempertahankan catatan yang telah saya buat di blog sebelumnya.)
PS 2. Cerpen ini adalah cerpen pertama saya yang dimuat di media massa, dimuat di harian Seputar Indonesia, 27 Maret 2011. Seingatku, dulu waktu masih kuliah S1 semester 2.

Ketika sang bola kuning mulai mengintip di sela-sela ranting pohon, keluarlah seseorang dengan wajah segarnya dari mobilnya. Seseorang itu tengah berdiri, di depan gapura kota. Kepala mendongak ke atas – sedikit senyum tersirat di wajahnya – melihat tulisan di gapura itu. Selamat datang di kota Kotak.

Semua mata di sepanjang jalan  melongo, terbelalak. Tak seorang pun mampu berkata. Ucap mereka terasa tersangkut di tenggorokan.

“Pak, kenapa orang-orang itu memandang kita aneh gitu?” Tanya istriku yang tepat duduk di sampingku, di dalam mobil yang berjalan di atas aspal hitam.

“Biarkanlah Bu. Mungkin kita ini dianggap mereka seorang artis. Dan mungkin saja ini daerah yang amat primitif. “ tawa renyahku mendinginkan suasana kecurigaan istriku terhadap kota baru ini.

Tiba-tiba, seseorang muncul dari kerumunan warga. Dia setengah lari, menyerobot dan mendesak agar terlihat olehku. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku. Tajam. Setajam  tatapan matanya.

“Heeeiii, mereka itu pengkhianat, para cecunguk liar. Lihat ban mobilnya, bentuknya bulat. “ dia teriak keras sekali, bahkan efeknya membuat para warga makin menganga dan mengatakan satu huruf panjang histeris, Ooooo. Aaaaaa.

“Pak, kenapa orang itu berteriak ke arah kita, dengan menunjuk lagi?” wajah istriku kini lebih miris, ketakutan. Di dalam pikiran istriku, kami adalah orang yang melanggar aturan.

“Tenanglah, Bu. Dia sebenarnya ingin kita berhenti. Lihat saja di sakunya. Ada spidol besar untuk kita pakai tanda tangan. Kaosnya putih kan ? “

“ Terus kenapa kita tidak berhenti,Pak ?”

“  Nanti mereka pasti datang ke rumah, Bu, menyambut kedatangan kita.” Aku tersenyum ke istriku. Aku angkat sedikit alis mataku. Aduh, tangan istriku mencubit lengan kiriku yang sedang pegang setir.

***

Aku menyadari keanehan  itu. Bayangkan saja. Di sudut kota, semuanya serba kotak. Baju mereka kotak-kotak, entah lengan panjang atau pendek. Sepatu juga kotak. Rambut model kotak. Tahu kotak. Tempe kotak. Kerupuk kotak. Semangka kotak. Apel kotak. Rumah mereka juga serba kotak, mulai dari pintu, gagang pintu, jendela, meja, almari, dan semua perabotan di dalamnya. Dan yang paling aneh adalah ban mobil mereka kotak.

Aku bisa lega bisa pindah ke sini. Aku hanya ingin satu. Ingin membeli koleksi rubik − Permainan puzzle tiga dimensi – yang buat aku penasaran. Di kotaku dulu, kota Lingkaran, tak ada permainan itu.

Di sini, mereka yang dari luar, tidak bisa langsung membeli barang-barang di kota Kotak. Mereka harus pindah dahulu ke kota Kotak, baru kemudian boleh membeli barang apapun di sini. Begitu juga orang di dalam kota Kotak. Mereka tidak boleh membeli barang dari luar kota. Kalau ingin membeli barang, mereka harus pindah dari sini. Beigtulah yang ku ketahui dari informasi yang kudengar sebelumnya.

Suara ketukan pintu terdengar di rumahku. Ya, sebentar. Jawabku. Aku berjalan agak cepat. Ku buka pintu.

“Silakan masuk !”

“ Tidak usah. Saya kemari hanya sebentar kok.”

“ Emangnya bapak ini ada urusan apa ya ?”

“ Gini. Saya menghimbau anda untuk cepat meninggalkan kota ini, sebelum walikota menghukum anda.”

“ Loh loh. . . aku ini salah apa kok disuruh pergi, diusir dari sini ?”

“ Anda lihat sendiri di papan peraturan di balai kota. Permisi.”

Seseorang itu pergi dari rumahku, tapi kata-kata mengusirnya terus mengendap di rumahku, lebih tepatnya di pikiranku. Aku terus berdiri di depan pintu. Benar ragaku di sini, tapi tidak dengan jiwaku. Jiwaku berkeliling menyusuri pojok-pojok pikiran. Aku tahu hal seperti ini pasti terjadi, tapi aku belum mencari caranya.

“ Orang tadi itu ngapain Pak?”

Aku terlonjak kaget, sedikit tersentak. Tiba-tiba, istriku menepuk bahuku. Aku sedikit linglung harus menjawab apa dari pertanyaan istriku itu. Raut mukaku memancarkan kebingungan yang amat sangat.

“ Pak, mengapa wajah Bapak jadi bingung begitu? Tadi ada apa, Pak?”

Gila istriku ini. Orang sudah bingung begini, masih saja dihujani pertanyaan. Emangnya aku seorang kriminil yang tiap harinya selalu dilempari ribuan pertanyaan. Entah oleh perangkat negara, tim interogasi, ataupun masyakarat yang hanya bisa melempar sejuta pertanyaan dari hati mereka. Ya. Dari hati dan takkan sampai ke hati para pelakunya.

“ itu loh, Bu. Tadi aku disuruh oleh petugas kota untuk besok pagi pergi ke balai kota. Katanya sih, agar kenal sama daerah sini. Gitu, Bu.”

Istriku hanya menjawab dengan satu huruf panjang. Oooo. Dia langsung berbalik dari arahku.

Aku tak tega membohongi istriku terus dengan semua kebohongan ini. Istriku tak tahu menahu tentang kota ini. Dan, istriku selalu menerima apapun jawabanku. Maklum. Dia lulusan SMA, sedangkan aku lulusan S2. Walaupun aku tergolong orang pintar, berpendidikan, tapi aku tak menggunakan ilmuku untuk membohongi istriku untuk hal-hal yang buruk, seperti selingkuh. Aku berbohong kepada istriku hanya untuk hal-hal yang menurutku baik. Ingat. Menurutku baik. Jadi, bisa dibilang bohong putih.

Aku juga tak pernah membohongi bawahanku, para pegawai di kantorku. Aku sadar, membohongi orang bawah makin menyulitkan hidup mereka. Sudah kerjanya berat, gajinya kecil, masak aku sebagai pemilik perusahaan Silinder tega membohongi mereka. Aku sudah cukup dengan dosa-dosaku ini.

***

Pagi hari, aku jalan-jalan di sekitar di balai kota. Aku terkadang tertawa-tawa sendiri melihat kota Kotak ini. Semuanya tetap serba kotak.

Seperti yang ku duga, aku jalan di sekitar balai kota seperti berjalan di karpet merah. Banyak mata memandangku. Entah artinya apa pandangan itu. Lucu? Aneh? Baru? Aku memang sengaja tak memakai baju kotak-kotak. Aku malah memakai kaos oblong bergambar O di seluruh kaos seperti aku dikelilingi dan diterbangkan gelembung-gelembung di seluruh tubuhku. Tak hanya kaos saja yang bukan kotak. Semuanya. Celana, sepatu, sabuk, dan yang paling menonjol adalah rambut. Kubuat rambutku keriting, keriting bulat seperti sebuah helm besar menutupi kepalaku.

Seorang berbadan besar berseragam kotak-kotak menyisir membelah kerumunan massa. Dia mencengkeram pergelangan tanganku erat. Erat sekali.

“Pak, tolong lepaskan saya Pak !”

Aku sedikit berteriak dan melawan cengkeramannya yang semakin mengencang.

“Pak, apa ada surat penangkapan ? Surat yang memperbolehkan Bapak menarikku paksa  seperti ini?”

Orang keamanan ini tetap menatap ke depan tajam tanpa menghiraukanku yang terseok-seok mengikuti langkahnya. Aku diseret ditarik mengikuti ke arahnya menuju.

Tanganku yang satu masih bebas bergerak. Dengan segera dan cepat, kupukul keras mukanya dari belakang. Bukkk.

Dasar. Setelah dia kupukul, langsung dia menoleh ke arahku. Dia semakin brutal. Tangannya kini memegang kedua tanganku dari belakang. Ya. Aku bak seorang residivis pencurian kelas kakap.

Aku dibawa ke sebuah ruangan besar kotak bewarna hijau. Aku memperkirakan mungkin ini tempat sidang. Kan, ada istilah meja hijau. Dan ini kotak hijau. Aku tak tahu mengapa warna hijau jika disematkan dengan meja, bermakna tempat persidangan. Hijau itu warna alam, penuh kedamaian, kejujuran. Apakah di tempat sidang itu penuh dengan kedamaian dan kejujuran? Mungkin iya, mungkin tidak. Kalau bisa saja dua-duanya, mengapa tidak diganti saja warnanya dengan warna abu-abu? Warna kebingungan orang dalam sidang untuk memutuskan perkara tersebut. Atau diganti saja dengan warna merah, warna kemarahan. Kemarahan untuk terdakwa yang benar tapi dianggap salah karena kesalahan “sengaja” disebar oleh oknum. Atau diganti saja dengan warna hitam. Warna kebusukan. Kebusukan untuk terdakwa yang salah tapi dianggap benar karena ada pelicin yang sangat licin jika dimasukkan ke dalam saku akan langsung masuk terperosok dalam. Tapi, janganlah diganti dengan warna putih. Warna kebenaran, dimana yang benar dianggap benar, yang salah dianggap salah. Karena putih adalah warna yang sangat cocok untuk meja sidang Tuhan nantinya. Ah, biarkan saja hijau. Lebih cerah.

Benar perkiraanku. Aku dimasukkan di dalam ruang sidang. Berderet-deret bangku diatur layaknya di ruang bioskop. Semua orang sudah menempatinya. Penuh. Di depan, sudah ada lima orang penting. Dan, aku sendiri dimasukkan di dalam sebuah kotak kerangka kayu, tapi hanya setengah badan.

Orang yang duduk paling tengah berdiri. Aku lucu melihatnya. Badannya sangat-sangat kotak. Atau bajunya saja yang lebih kotak dan padat.

“ Saya Pak Kubus, selaku walikota Kotak, cukup prihatin atas kehadiran anda di kota ini.”

Aku  tertawa tapi tawaku sengaja kukulum di mulut, tak kubiarkan gurat bibirku terlihat tertawa. Sampai-sampai aku tersedak menelan tawaku. Sungguh lucu sekali. Namanya saja Pak Kubus. Ya, tepat sekali tubuhnya seperti kubus.

“ Apakah nama anda Pak Bola ?”

“ Ya. “

“ Hmmm . . . Di peraturan kota ini, telah ditulis bahwa semua orang yang tinggal di kota Kotak harus menggunakan apapun dengan bentuk kotak. “

“ Iya, saya tahu itu. Tapi apa kota ini bukan termasuk dalam wilayah Negara Bangun ?“

“Maksud Anda ?”

“Saya cukup miris lihat kota ini. lihat saja tadi. Petugas keamanan balai kota tadi tidak tahu sopan santun. Dia seenaknya saja main tarik tanpa permisi dulu mau memasukkanku ke sini.”

“Oh . . . itu karena Anda belum melihat papan peraturan di balai kota.”

“Bagaimana bisa melihat papan pengumuman, mau jalan ke sana, saya sudah ditarik. Apa itu tidak melanggar hak saya sebagai warga penuh kota Kotak ?”

Tepuk tangan dan sorakan para penonton riuh rendah. Waktu aku bersuara, mereka meneriakiku. Waktu walikota mereka ganti yang bicara, mereka diam. Sampai, berkali-kali tim sekuriti menginstruksikan mereka agar tenang. Di ruang sidang saja seperti melihat pertandingan bulutangkis. Ricuh. Untung saja aku tidak dilempari bata, botol, dan semacamnya. Karena jika begitu, aku ingat kenangan satu bulan lalu. Kenangan menjadi penonton dengan pesta lemparan. Tapi aku tak turut ikut. Tak pernah.

“Warga penuh ?”

“Ya, saya warga penuh kota ini. Saya sudah punya semua surat segala macam yang diperlukan untuk hidup di sini.”

“Iya, saya tahu Anda sudah mengantongi surat ini itu. Tapi anda tak mematuhi aturan untuk memakai apapun serba kotak.”

“Oh . . . Saya cukup sedih lihat kota ini. Masih saja ada aturan yang sepenuhnya merugikan pikiran warga kota ini. Apakah anda tak kasihan, mereka semua yang duduk di sini, yang hadir di sini, adalah kaum-kaum yang terbelenggu oleh bentuk kotak. Apakah anda tak ingin mereka melihat bentuk-bentuk lain di negara ini, yang kemungkinan lebih bagus dari kota kotak ini ?”

Aku berbicara mengelegar gempar. Ku tatap nanar wajah walikota. Walikota hanya bisa beringsut mendengar kata-kataku. Dia seolah semakin mengecil. Teriakan para penonton pun tersedot oleh atmosfir semangat kebebasanku.  Hening. Sunyi. Senyap. Di pikiran mereka kini sedikit terpecik aroma pemberontakan. Aku tahu mereka ingin bebas. Dan kediktatoran ini harus segera diakhiri.

Melihat wajah para penonton yang seakan ingin menyerang Pak Kubus, dia segera bangkit dan memberanikan diri bicara memecah kesunyian. Pak kubus berdiri dari tempat duduknya. Sekarang, dia yang menyerangku dengan tatapan tajam.

“ Anda mau melawan saya ? Anda tahu saya siapa ?”

“ Tahu. Anda adalah Pak Kubus dengan semua busana kotak-kotak, tubuh kotak dan pikiran yang juga terkotak-kotak. Mungkin sih. “

“ Dasar, kau kurang ajar. Cepat bawa dia ke . . . “

Tiba-tiba, ada teriakan dari deret paling depan penonton yang memotong teriakan walikota. Itu kan orang yang meneriaki aku dulu waktu di jalan. Gumamku.

“ lihat di pintu samping ! ada seorang penyusup lagi. “

Semua mata di ruangan hijau itu tertuju pada seseorang yang telah masuk secara paksa dari pagar petugas keamanan. Dia memakai baju serba segitiga, bahkan celana dalamnya terletak di luar celana panjangnya. Jalannya terseok-seok, menutupi perutnya yang terluka. Sedikit lebar. Merah. Tangannya merah darah. Segar pula. Wajahnya meringis menahan kesakitan.

“ Tolong Pak Bola !!! Saya telah ditembak orang tak dikenal dari kota hexagon.”

2010


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *