Meminta Uang, Berharap Terbang

PS. Cerpen ini kemudian dialihwahanakan menjadi puisi dengan judul yang sama. Puisi bisa ditemui di buku puisi Cara Menghitung Anak. Cerpen tersebut telah dimuat di Majalah Sarbi Edisi April 2017. Untuk mengunduh versi pdf, bisa dilihat di bagian paling bawah.

Sejumlah remaja menghentikan permainan. Semua tengadah, seolah merapalkan doa. Tidak dengan mendekapkan tangan. Namun dengan mulut yang menganga.

Mundir hampir tak percaya pesawat itu akan muncul. Tidak seperti sore yang sudah-sudah. Sore yang selalu cerah, hangat-hangat kuku. Seperti biasanya, gadis-gadis keluar rumah untuk menyapu daun-daun gugur, sampah yang kebetulan dibuang orang lewat. Setelahnya, menyiram bunga-bunga, pohon-pohon, atau tanah agar tak berdebu. Dengan bantuan timba yang hitam kusam, air diambil dari got-got depan rumah ukuran selangkah. Jika yang mampu dan mau bersusah payah, air dialirkan dari selang panjang dari belakang rumah.

Seperti halnya kucing yang mudah mencium pindang, beberapa pemuda desa sengaja melintas untuk menggoda gadis, “Hai, cantik. Rajin sekali membantu orang tua,” kebanyakan menyapa seperti itu. Setelahnya, mengedipkan mata jika gadis menyambutnya. Gadis hanya meringis. Ada yang membalasnya dengan tersenyum. Ada yang terbirit masuk rumah, melaporkan ke bapaknya.

Bapaknya keluar, menyeringai menunjukkan kumis lebatnya. Gadis bersembunyi di balik punggungnya, “Sekali lagi kamu menggoda anakku, tak segan-segan motormu kuhancurkan berkeping-keping!” sontak, pemuda itu menaiki motornya, memacu gas sekencang-kencangnya. Suaranya melebihi lajunya. Sumbernya berasal dari knalpot seukuran setengah lengan. Gadis pun enggan dibonceng, ditambah lagi, ban kecil, badan kerdil, serta jok tipis yang menyengsarakan pantat.

Seratus meter dari sana, di depan gawang, Mundir menghentikan bola walau sudah dipastikan bisa mencetak angka. Semua ikut berhenti berlari. Kecuali Hanan yang berhasrat merebut bola. Mundir mencegah. Tangan kirinya dijulurkan, memberi jarak antara Hanan dan bola. Hanan memaksa. Mundir mendorongnya. Hanan hendak menyerang, semua temannya datang melerai. Doko, bocah berperawakan gempal, mengatupkan telunjuk ke bibirnya, pertanda agar Hanan diam. Sesuatu tengah didengarkan.

Mundir menajamkan telinga. Lamat-lamat terdengar. Seperti siul yang hendak melawan angin menyibak daun. Bising, lebih menyerupai gemuruh yang datang dari seberang. Bisa saja dia salah dengar. Pasalnya beberapa motor dimodifikasi berbunyi bising seperti bising pesawat, “Seharusnya kurang setengah jam lagi,” batinnya meragukan.

Di tepi lapangan, masih menunjukkan pukul empat. Biasanya, pesawat melintas lewat desanya pukul setengah lima. Para penjual, mulai yang berjualan kerupuk petis, es serut, es sinom, es lilin, pentol, mie biting, dan mainan bambu, memenuhi pinggir lapangan. Sedikit ke tengah, ada yang bermain layang-layang. Ukurannya bermacam-macam, juga bentuknya. Paling kecil, selengan yang dengan mudah dikendalikan bocah-bocah yang lebih muda dari Mundir dan teman-teman. Berhiaskan ekor dari kertas bekas yang melebihi lebar layang-layang. Paling besar, seukuran lelaki dewasa. Juga butuh lelaki dewasa serta perkasa untuk menerbangkan, menaklukkannya. Hanya satu lelaki dewasa dari desa seberang yang mampu menerbangkan. Dialah menerbangkan layang-layang berbentuk Superman itu.

“Lihat, ada pesawat!” Mundir menunjuk-nunjuk diikuti tengadah sekelompok temannya. Tanpa komando, mereka menghentikan sepak bola untuk sementara. Pesawat itu muncul dari timur kejauhan, seolah menyembul dari balik pepohonan. Dengan gagah, seperti gajah terbang berwarna keabu-abuan, melintas di atas mereka menuju barat.

Di sekitar lapangan, semua bocah yang masih pantas, menunjuk-nunjuk pesawat. Konon, kata kakek buyutnya yang diceritakan turun-menurun, pesawat adalah burung garuda yang mengawasi desa-desa. “Mereka hanya melihat apakah para warga desa sudah sehat sentosa atau belum. Jika belum, dari pantatnya, akan dikeluarkan uang dan makanan untuk warga. Pesawat tak mau warga mati kelaparan,” samar-samar kata-kata kakek buyutnya terngiang. Mereka terpukau. Mulutnya menganga. Hampir saja liur menetes.

Untuk yang dewasa, para penjual yang berjajar di pinggiran, mencuri-curi pandang melihat pesawat. Mereka hanya dibatasi usia. Walau usia tetap tidak bisa menjawab bagaimana orang-orang bisa naik pesawat. Terlebih lelaki dewasa yang menerbangkan Superman. Sekali-kali dia mencuri pandang ke pesawat sembari melihat posisi terbang Supermannya.

Pak Sukeb, lelaki tua penjual es sinom dan pentol, mengetahui sedikit perihal pesawat. Kata orang-orang terdahulu di desanya, desa tetangga, hanyalah orang-orang kaya raya yang mampu naik pesawat. Di dalamnya pasti banyak orang kaya raya. Itu saja yang dia tahu. Selebihnya, dia hanyalah penjual es sinom dan pentol, yang tidak bakal bisa naik pesawat, “Segera minta uang! Banyak orang berduit di sana!” teriaknya memberi arahan. Setelahnya, Pak Sukeb tidak melihat mereka. Dia sedang sibuk melayani Bu Kemi, janda belum sah yang ditinggal suaminya. Anaknya yang meminta dibelikan pentol. Karena masih kecil, untuk melihat toples saos pun harus menjinjit, sesekali melompat penasaran dengan rupa wadah pentol. Bu Kemi lalu menggendongnya, menggoyang-goyangkan tubuh Tania.

Mereka tak menghiraukan arahan Pak Sukeb. Mereka sudah lebih dulu berlari. Entah siapa yang mengawali. Mundir lebih rancak melompat-lompat sembari berteriak, ”Pesawat, pesawat, minta uangnya!” teman-temannya serentak mengikuti, setengah berlari untuk mendapat uang.

“Kemarin,” sudah hampir lima tahun Bu Kemi ditinggal suaminya. Bu Kemi menganggapnya baru kemarin ditinggalkan dan percaya besok pasti kembali lagi, “Bosnya ayah Tania, naik pesawat. Harga tiketnya saja bisa buat makan sebulan,” Bu Kemi menyuapi Tania pentol yang sudah ditusuk batang lidi.

“Ibu kok tahu?” Pak Sukeb menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Dilepas topinya, dikebas-kebaskan ke wajahnya walau hari itu sedang tidak panas.

“Jelas, tahu. Ayah Tania yang beli.” Diangkat-angkatnya Tania dalam gendongannya sembari menyuapi pentol. Bu Kemi membelakangi Pak Sukeb, menatap pesawat yang mulai menjauh. Matanya berucap selamat tinggal, seolah-olah di dalam sana, ada ayah Tania duduk di bangku penumpang beserta bosnya.

Mundir beserta teman-teman juga sudah mulai tak terlihat. Mereka berlari keluar lapangan, menembus rerumputan, melewati rumah-rumah, dan sampai tak ada yang bisa menebak kabar mereka.

Bocah-bocah masih memandang ke arah barat kejauhan, berharap Mundir beserta teman-temannya mendapat uang. Begitu juga dengan pedagang yang berjajar di pinggiran. Mereka menitipkan harapan lewat matanya, memandang dengan tenang melepaskan pesawat yang sudah menjauh. “Agar aku tidak menjadi penjual pentol lagi,” Pak Sukeb memanjatkan doa di balik topinya. Begitu juga Bu Kemi, mengharap suaminya lekas pulang, “Tania sudah mulai besar dan minta ini-itu. Kami menunggu di rumah,”

Berbeda dengan lainnya, lelaki dewasa sudah menuliskan sederet doa di punggung Superman. Saat belakang rumahnya sedang sepi, di desa seberang, dia menuliskannya sembari merapalkannya. Namun, dia kurang percaya Superman-nya mampu menyampaikan doanya. Ditinggikan lagi posisi terbangnya. Dengan begitu mungkin doanya bisa tersampaikan. Lelaki dewasa masih saja was-was. Karena pesawat terbang ke arah barat dan Superman-nya terbang ke arah Selatan, “Kalau begini, doaku tidak bakal sampai,” gumamnya. Dibanting haluannya ke arah barat dengan perlahan. Ditarik ulur sembari mengarahkan ke barat. Wajahnya berkeringat saking beratnya. Angin sedang kencang-kencangnya mengombang-ambing. Namun ada angin baik. Angin mengarahkan Superman ke arah barat. Superman kini tepat berada di jalur yang telah dilewati pesawat.

Sebuah layang-layang datang dari desa seberang dan dipastikan talinya sudah diramu agar lebih tajam dari pisau cukur. Dia tertarik dengan Superman. Dibelit tali Superman, melingkar-lingkar, lalu sebuah hentakan dari sana, membuatnya benar-benar terbang, terbang tanpa tali.

Lelaki dewasa itu getir melihatnya. Angin mengayun-ayunkan menuju timur. Sekonyong-konyong dia berlari mengejar Superman yang dia buat sendiri selama seminggu lebih. Tanpa melihat sekitar, dia terus mendongak mengejar Superman sebelum kena orang. Beberapa orang pasti melirik Superman, ikut mengejarnya. Lelaki dewasa semakin kencang larinya, keluar lapangan, menuju jalan, semakin dekat, dan semakin dekat.

Dari utara kejauhan, pemuda desa yang suka menggoda gadis itu melintas dengan kecepatan tinggi. Suaranya sudah terdengar sebelum dia sampai. Seperti bising pesawat yang barusan lewat. Lelaki dewasa itu tidak menyadari ada motor melintas. Dan pemuda itu juga tak mengerti kenapa ada lelaki yang melintas di saat hatinya sedang panas-panasnya dengan gadis. Dia hanya mengerti dan melihat seorang lelaki necis datang ke rumah gadis mengendarai mobil berwarna terang.

Lelaki dewasa terlempar di pinggir jalan. Pemuda bersama motornya jatuh seketika. Sedikit tertatih, pemuda itu mencoba bangun, menaiki motornya, berusaha kabur dari warga sekitar. Warga sudah datang, menyeret motornya ke pinggir.

Pemuda dituntun dengan tendangan, didudukkan untuk diminta keterangan oleh Pak Kades. Sedangkan, lelaki dewasa dibopong ke rumah Kades. Kakinya hampir patah. Lengannya memar. Bajunya sobek. Mulutnya berdarah. Sedikit memaksa, dia berkata, ”Supermanku mana?”. Matanya tidak terluka. Namun air mata sedang keluar dari sana. Saat itu jam menunjukkan angka setengah lima lebih lima menit.

***

Mundir bersama teman-temannya pulang saat Magrib akan tiba. Tidak ada sesuatu yang dia bawa, selain keringat. Mereka sudah mengejar pesawat sampai mereka tidak bisa lagi melihat pesawat. “Pesawat tak memberi kami uang sepersen pun,” Mundir ngos-ngosan menjelaskan saat berhenti di warung Bu Kemi. Bu Kemi tersenyum, lalu menyiapkan mereka minum.

“Lelaki dewasa yang tadi bawa Superman terluka parah. Dia sekarang di dalam rumah Pak Kades. Dia tidak punya uang,” kata Bu Kemi mengaduk-aduk minum agar gulanya segera larut.

“Kenapa?” tanya Mundir.

“Kecelakaan saat mengejar Superman,” kata Bu Kemi saat memberi mereka minum.

Adzan Magrib berkumandang. Semua orang di warung Bu Kemi diam sejenak menunggu adzan selesai. Mundir diam-diam memanjatkan doa, ”Jika pesawat itu memang penuh uang, jatuhkanlah! Agar lelaki dewasa itu bisa berobat. Amin,”

Besoknya, pembawa koran datang ke desa membawa kabar bahwa sebuah pesawat telah mendarat darurat. Ratusan terluka parah. Puluhan meninggal dunia. Mundir menyesal tak mencabut doanya.

Surabaya, Juni 2015

Neo-Jurnal-SARBI-10-April-2017.pdf


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *